KOLOM

Memungut Riwayat Batavia dari Puing Wihara Dharma Bhakti

CNN Indonesia
Kamis, 26 Mar 2015 11:03 WIB
Wihara tertua di Jakarta, Dharma Bhakti, telah terbakar. Tapi wihara ini punya peran dalam sejarah Batavia sehingga harus dipugar kembali.
Petugas pemadam kebakaran di antara puing-puing Wihara Dharma Bhakti. (CNN Indonesia/Antara Photo/Sigid Kurniawan)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Satu lagi bangunan cagar budaya ludes terbakar. Kali ini menimpa wihara tertua di Jakarta, Dharma Bhakti, di kawasan Petak Sembilan (Glodok), Senin dinihari, 2 Maret 2015 lalu. Sebelumnya kebakaran pernah meluluhlantakkan wihara tertua di Banyuwangi (Juni 2014) dan wihara tertua di Magelang (Juli 2014).

Diduga kebakaran-kebakaran tersebut disebabkan oleh dupa dan/atau lilin yang terus menyala di dalam ruangan lalu menimpa bahan-bahan yang mudah terbakar.

Riwayat wihara Dharma Bhakti antara lain berasal dari Plakaatboek (Kumpulan Sekalian Peraturan) oleh Pemerintah Kotapraja Batavia sejak berdirinya hingga 1811. Menurut dokumen lain, Kai-ba li-dai shi-ji (Kronik Penduduk Tionghoa di Jakarta), wihara ini dibangun pada 1650 oleh seorang Letnan Tionghoa, Guo Xun-guan. Kemungkinan nama Guo Xun-guan identik dengan Kwee Hoen sebagaimana sumber lain. Penyelesaiannya dilakukan oleh Kapten Guo Jun-guan pada 1669.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kronik tersebut, sebagaimana penelitian Emma Rachma, arkeolog dari Universitas Indonesia pada 1990, juga mengatakan bangunan itu diberi nama Guan Yin-ting atau dalam dialek Hokkian, Kwan Im Teng (bangunan kecil bagi pemujaan Dewi Kuan Im).  Diyakini asal mula nama wihara berasal dari istilah itu. Pendapat lain mengemukakan, nama wihara berasal dari bunyi genta kecil (klinting) atau bunyi genta besar (klonteng).

Pada 1740 wihara ini dirusak dan dibakar dalam peristiwa Tragedi Pembantaian Angke. Karena itu pada 1755 wihara dipugar oleh Kapten Oei Tjhie dan diberi nama Kim Tek Ie (Wihara Kebajikan Emas). Nama ini berasal dari dialek Hokkian. Menurut kronik di atas, nama Jin-de Yuan diberikan oleh Kapten Huang Shi-lao (Huang Yi-qu) pada 1755. Di kemudian hari, beberapa mayor menyumbang dana untuk memugar bangunan tersebut.

Cl. Salmon dan D. Lombard dalam bukunya Klenteng-klenteng Masyarakat Tionghoa di Jakarta (Yayasan Cipta Loka Caraka, 1985) menyebutkan, pada abad ke-18 tidak kurang dari 18 biksu tinggal di dalamnya. Mereka bertugas mengorganisasi orang-orang Fujian.

Wihara ini merupakan kesayangan para pejabat Tionghoa. Karena merupakan wihara pertama di Batavia, J. Rach sempat melukisnya  pada 1772-1775. Demikian juga Tio Tek Hong, memotretnya pada awal abad ke-19. Menurut prasasti yang ada di sana, wihara ini pernah mengalami dua kali perbaikan, yakni pada 1846 (jalan masuk) dan 1890 (renovasi). Para donatur adalah orang-orang Fujian dan Kanton.  

Sebenarnya sebelum wihara ini berdiri, sudah ada wihara-wihara lain di Batavia. Plakaatboek mencatat sebelum 1650 terjadi pemusnahan sebuah wihara di daerah Kota atas permintaan Dewan Agama. Penyebabnya, wihara itu dianggap sebagai kampanye antikafir. Sebuah wihara lain yang didirikan di sebelah selatan tembok kota, juga diubah menjadi sebuah perbentengan.

Pada masa awal Orde Baru, Wihara Jin-de yuan atau Kim Tek Ie mendapat perlakuan buruk dari penguasa. Papan nama wihara yang tertera dalam bahasa Tionghoa harus diganti dengan papan baru dengan tulisan aksara Latin. Nama baru yang dipilih adalah Dharma Bhakti, berasal dari bahasa Sansekerta. Nama ini diberikan oleh sebuah lembaga bernama Dewan Wihara Indonesia (DEWI).

Ukiran

Bangunan Wihara Dharma Bhakti penuh dekorasi berukiran. Pada atap yang bergenteng, terhias ukiran naga dan ‘Mutiara Surgawi’ yang amat indah. Pada sudut-sudut atap juga terdapat dekorasi berukir dari porselen dan semen. Wajah depan wihara terbilang amat indah.  

Pintu masuk utama umumnya berdaun dua, sering dihias dengan lukisan dua orang penjaga. Tembok di kanan kiri pintu masuk juga dihiasi ukiran. Wihara dilengkapi dekorasi khas berupa dua singa batu (bao-gu shi), diperkirakan berasal dari abad ke-18. Ukiran hewan simbolis dan bunga teratai melengkapi keindahan wihara ini.  

Meja-meja altar dan patung-patung dewa/dewi banyak terdapat di sini. Salah satu keuntungan bagi peneliti adalah banyak tanggal tertera pada berbagai unsur arsitektur dan perabotan. Begitu juga pada patung singa dan tempat pembakaran kertas. Meja altar yang tertua berangka tahun 1724, mulai ditempatkan pada 1876 setelah ditemukan dari dalam gudang. Artefak lain yang bertanggal adalah genta di halaman belakang (tahun 1825) dan prasasti (tahun 1846).

Dalam kebakaran awal Maret 2015 itu, sekitar 40 ruangan dalam wihara hangus. Namun patung Dewi Kuan Im, patung utama dalam wihara tersebut, bersama genta besar buatan tahun 1890 dan tempat dupa buatan 1862, berhasil diselamatkan.

Pemugaran

Saat ini Wihara Dharma Bhakti tinggal puing-puing berserakan. Bukti sejarah tentang keberadaan Batavia, sebagai pendahulu Jakarta, nyaris musnah. Untuk itulah wihara perlu dipugar atau direkonstruksi. Yang menguntungkan, dengan teknologi masa kini, terlebih pemindai tiga dimensi, maka posisi koordinat tiap-tiap bagian bisa ditentukan secara akurat. Dengan demikian data arsitekturalnya cukup lengkap.

Bangunan wihara sendiri sebenarnya sudah memiliki aturan khusus. Selain bangunan utama ada bangunan samping. Bangunan utama terletak simetris, orientasi arah utara-selatan, dan terletak di halaman yang dikelilingi tembok. Komponen arsitektur utamanya adalah podium, struktur rangka kayu, penopang kayu, bentuk atap, dan motif-motif dekoratif.

Menurut pemerhati budaya Tionghoa David Kwa, sebagaimana diskusi di jejaring sosial Facebook, wihara ini dibangun dalam gaya arsitektur Fujian Selatan atau Minnan. Maka untuk pembangunan kembali diperlukan tenaga ahli pemugaran yang khusus menangani wihara kuno.

Sepengetahuan David, tenaga ahli demikian yang sering melakukan pemugaran di Singapura dan Malaysia, harus didatangkan dari Fujian dan Taiwan. Ini mengingat gaya arsitektur Fujian Selatan berbeda dengan gaya arsitektur di daerah-daerah lain, terutama pembuatan bagian bangunan yang disebut ‘ekor walet’.

Sesungguhnya kasus-kasus kebakaran di beberapa wihara, mengingatkan bahwa harus ada peraturan-peraturan ketat untuk menjaga keselamatan bangunan dari berbagai penyebab, seperti kebakaran, banjir, pencurian, dan hubungan pendek arus listrik. Untuk itu setiap bangunan cagar budaya yang berkategori monumen hidup (bangunan yang masih berfungsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat pendukungnya), harus memiliki kamera CCTV, tabung pemadam kebakaran, pendeteksi api, dan perlengkapan keamanan lain.

Khusus untuk wihara perlu ada larangan menyalakan dupa dalam jumlah banyak dan lilin berukuran besar. Sebenarnya dulu pernah ada usulan pembatasan penggunaan lilin dan dupa untuk ditempatkan dalam bangunan. Namun pengurus menolaknya dengan alasan kemauan umat yang mau membayar nazar. Jadi supaya afdol mereka mau membakar dupa sebanyak mungkin dan lilin sebesar mungkin. Celakanya, mereka maunya di dalam ruangan agar strategis dengan altar pemujaan.

Betapa pun kebakaran-kebakaran sebelumnya dijadikan pelajaran oleh pengurus Wihara Boen Tek Bio di Tangerang. Menurut Cin Eng, sekarang lilin-lilin besar diletakkan di pekarangan. “Kami mengantisipasi hal-hal terburuk,” katanya.

Saat ini berbagai kalangan sedang mengumpulkan data tertulis dan foto wihara sebelum diubah seenaknya oleh pengurus. Misalnya gambar arsitektural, detail ukiran dan ornamen, serta berbagai catatan oleh mereka yang pernah melakukan studi di wihara tersebut. Data inilah yang nantinya akan digunakan sebagai panduan bagi tim pemugar. Yang jelas, bangunan ini akan dikembalikan ke bentuk aslinya sebagaimana pertama kali dibuat.  

Kerawanan wihara-wihara di Indonesia adalah hampir semua bangunannya terbuat dari balok kayu. Sekadar gambaran, di Singapura dan Malaysia lilin dan dupa tidak boleh masuk wihara. Umat hanya boleh menyalakannya di teras wihara. Jadi kita harus memetik pelajaran berharga dari kasus-kasus kebakaran terhadap bangunan cagar budaya yang pernah terjadi.
 
* Penulis adalah arkeolog dari Universitas Indonesia, yang aktif menulis populer soal purbakala, sejarah, dan museum. (ded/ded)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER