Jakarta, CNN Indonesia -- Situs-situs yang menyediakan
file ilegal alias bajakan dari karya film dan lagu dianggap meresahkan, karena pemerintah mengambil sikap untuk memblokir aksesnya. Hak cipta para seniman seakan direnggut.
Kemudian di sisi lain, dunia digital semakin diberdayakan oleh pengembang aplikasi
streaming musik yang sengaja hadir untuk memberi layanan gratis. Ada juga yang berbayar, namun sistem mereka tak melupakan hak cipta.
"Pemblokiran situs bajakan bisa dibilang ada benarnya juga. Pemerintah harus mengambil tindakan yang tepat. Seniman memang harus dihargai
dong harganya," kata CEO aplikasi streaming musik lokal Volup, Reza Ario Bimo saat berbincang santai kepada sejumlah media.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia melanjutkan, "setelah blokir, lalu apa? Nah, kami para pengembang aplikasi
streaming musik masuk ke celah itu untuk menjadi solusi."
Reza menyadari, berawal dari layanan YouTube yang sifatnya "gratis" dalam artian saat diakses, si pengguna tak perlu membayar lagi -- tentu hanya perlu membayar paket data Internet--, sehingga semakin kuat karakteristik masyarakat Indonesia "doyan gratisan".
Layanan
streaming musik seperti Volup tentu menyediakan fitur gratis seperti radio dan
streaming untuk menikmati alunan lagu secara cuma-cuma tanpa luput dari masalah royalti si musisi.
Menurut Reza, aplikasi
streaming musik adalah cara edukasi sekaligus solusi paling baik bagi masyarakat mengenai hak cipta.
 Layanan streaming musik Volup. (CNN Indonesia/Hani Nur Fajrina) |
"Sesedarhana 'hei, daripada
download bajakan yang merugikan si musisi, nih kita ada solusi lain
lho yang sama gratisnya tapi legal'," ucap Reza lagi.
Lantas apa kabar album fisik karya para pemusik? Padahal usai rekaman, jualan mereka yang sah dibungkus ke dalam album berbentuk kaset atau CD. Pundi uang royalti mereka berasal dari sini.
"Tak bisa dipungkiri, teknologi semakin berkembang dan album fisik yang harganya cukup mahal itu jadi ditinggalkan," kata Bobby Anugrah selaku Chief Technical Officer Volup.
Ia meneruskan, "Tapi aplikasi
streaming musik hadir bukan untuk memberantas album fisik. Kami hanyalah alternatif yang memudahkan dan menyesuaikan perkembangan zaman."
Bobby menyatakan, sejak 1998 hingga 2002 itu adalah masa di mana pembajakan karya musik sedang naik-naiknya. Penjualan album fisik mengalami penurunan drastis. Ia berkisah, sempat ada kenaikan lagi sejak tren layanan musik RBT dari operator
mobile dikembangkan, namun hanya sesaat saja.
"Semua bermigrasi ke digital sekarang," kata Bobby lagi.
Kendati begitu, Bobby meyakini album fisik para pemusik tak akan betul-betul hilang dari permukaan alias musnah. Karena menurutnya, masih ada orang-orang yang masih gemar membelinya, walaupun itu bukan dikonsumsi sehari-hari, melainkan untuk koleksi pribadi.
"Penjualan album fisik juga lama-lama akan sangat
segmented, tak lagi dijual secara umum dan besar-besaran seperti dulu," ujar Bobby.
Volup, aplikasi
streaming musik yang sudah dikembangkan sejak 2012, ingin mengoptimalkan konten.
Volup berkonsep layanan musik hibrida, yakni terdiri dari layanan radio seperti biasa,
streaming musik, fasilitas unduh (
download), sewa musik, video, dan konten tulisan yang tentu bertema musik.
Rencana diluncurkan secara publik 29 Oktober mendatang, Volup memiliki tiga cara sistem pembayaran untuk layanan yang berbayar, yaitu harian, mingguan, dan bulanan.
Layanan berbayar harian dikenai biaya Rp2.000, mingguan dibanderol Rp13.000, dan Rp50.000 untuk bulanan.
Pembagian pendapatan di dalam Volup dinyatakan Bobby, untuk fitur
on-demand sewa lagu, si pemusik mendapat 60 persen dan Volup 40 persen. Sementara untuk unduh lagu, para musisi mendapat 70 persen dan Volup 30 persen.
Volup berupaya transparan soal hak cipta dengan memberikan platform khusus kepada musisi agar mereka bisa mengakses informasi soal royaltinya.
(eno)