Jakarta, CNN Indonesia -- Di balik kobaran semangat para serdadu kelompok teror ISIS, tersimpan rahasia. Obat bermerek dagang Captagon diduga mereka konsumsi sebagai 'doping' para tentara ISIS di medan perang.
Apabila ditilik dari sejarahnya, Captagon, pada dasarnya bukanlah hal yang baru di dalam dunia medis. Menurut Pharmaceutical Manufacturing Encyclopedia, obat ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1961 oleh Chemiewerk Homburg, cabang dari perusahaan bahan kimia Degussa asal Jerman. Produksi obat ini kemudian dipatenkan pada tahun 1962 berdasarkan Merck Index.
Mengutip penelusuran majalah
TIME terhadap 'doping' serdadu ISIS ini, diketahui Captagon adalah sejenis obat amfetamin yang pada awalnya digunakan untuk pengobatan terhadap mereka yang menderita narkolepsi, depresi, hiperaktif atau sebaliknya yang kekurangan perhatian. Obat ini pun fungsinya mirip dengan neurotransmiter alami yang dihasilkan tubuh, seperti dopamin dan adrenalin yang dapat meningkatkan aktivitas jantung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Forbes kemudian mencatat, Captagon pertama kali diproduksi secara komersil pada tahun 1960-an. Obat ini disebarluaskan di wilayah Eropa Timur pada awal tahun 2000-an, hingga akhirnya mulai menyebar luas ke wilayah Timur Tengah pada tahun 2006.
Namun setelah diperjualbelikan bebas, obat ini ternyata dilarang di banyak negara dan tidak lagi dipergunakan untuk kepentingan medis. Itu disebabkan karena Captagon bersifat terlalu adiktif akibat kandungan salah satu bahan aktif yang disebut fenethylline.
Lantaran khasiatnya yang bisa membuat aktivitas seseorang menjadi sangat reaktif, popularitas Captagon lantas menanjak. Obat ini kemudian menjadi terkenal di kalangan kelompok teroris radikal di wilayah Timur Tengah, hingga akhirnya obat ini mulai diselundupkan untuk kepentingan perdagangan dan 'bahan bakar' tentara ISIS.
Berdasarkan laporan dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), obat ini marak disalahgunakan di beberapa negara, khususnya di daerah Timur Tengah sebagai 'bahan bakar' para tentara ISIS karena dapat memberikan 'kekuatan instan' bagi militan-militan kelompok teroris.
Obat yang mudah diproduksiBahan dasar pembuatan obat ini sangat sederhana, bahkan mudah didapatkan secara legal. Pil yang dihargai sekitar Rp 13.600 ribu hingga Rp 273 ribu rupiah ini muncul dan diperjualbelikan di Timur Tengah, seperti di Suriah dan Saudi Arabia. UNODC melaporkan bahwa pada tahun 2010, Saudi Arabia menerima sekitar 7 ton Captagon, di mana ini merupakan sepertiga dari keseluruhan jumlah produksi Captagon di dunia, seperti ditulis
Reuters.
Bahkan lambat laun, negara-negara Timur Tengah juga turut berkontribusi menjadi salah satu produsen Captagon terbesar di dunia. Pada tahun 2012, pihak berwenang di Libanon menyita setidaknya 10 mesin yang dapat memproduksi puluhan ribu pil Captagon tiap harinya.
Pil ini dikonsumsi sendiri oleh kelompok militan di negara bersangkutan dan serta diselundupkan ke negara-negara lainnya. Kasus penyelundupan terbesar dilaporkan terjadi di 3 negara, yaitu Saudi Arabia, Suriah, dan Yordania.
Kolonel Ghassan Chamseddine, pejabat Libanon yang mengurus soal penegakan obat-obatan mengatakan Captagon juga telah menjadi salah satu komoditas perdagangan yang menggiurkan beberapa tahun belakangan ini, di mana pil-pil ini sidelundupkan secara tersembunyi di dalam truk yang melintasi Suriah dan Libanon. Pasalnya, penjualan obat ini ternyata juga turut menyokong finansial kelompok bersenjata dengan menyumbangkan pemasukan sekitar Rp 82 triliun rupiah tiap tahunnya bagi kelompok Hizbullah.
Popularitas obat ini pun semakin marak diperbincangkan berbagai media internasional. Selain digunakan sebagai obat doping kelompok militan teroris, ternyata obat ini juga populer di kalangan orang-orang muda kaya di Timur Tengah yang menggunakan obat ini untuk berbagai tujuan, seperti penurun berat badan atau 'penyemangat' ketika bergadang sebelum menghadapi ujian. Terlepas dari hal tersebut, obat ajaib ini jelas memiliki peranan penting, baik sebagai 'penghasil' uang, maupun sumber kekuatan 'super' tentara militan kelompok teroris di Timur Tengah.
(eno/sip)