Jakarta, CNN Indonesia -- Layanan streaming video Hooq asal Singapura menerapkan metode sensor internal dalam menangani konten yang dirasa kurang pantas untuk dikonsumsi. Mereka menunggu laporan dari pengguna dan mengeksekusi sensor jika hal itu dirasa perlu.
Country Head Hooq Indonesia Guntur Siboro mengatakan, perusahaan terlebih dahulu menampung segala keluhan dan masukan dari pengguna terkait hal yang perlu disensor.
Tim Hooq akan mengkaji secara cepat dan kemudian langsung memberlakukan sensor tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejauh ini, kami terapkan sensor internal, kami menerima segala masukan dari para pengguna. Kami punya tim sendiri yang mengurusnya," ucap Guntur saat ditemui usai jumpa pers peluncuran Hooq di Jakarta Selatan, Kamis (14/4).
"Soal sensor ini sebenarnya susah-susah gampang. Untuk saat ini kami terapkan seperti itu. Di samping itu kami juga berikan soal rate usia di setiap konten," sambungnya.
Sebagai perusahaan penyedia konten di suatu negara, Guntur mengaku Hooq mengutamakan asas keterbukaan soal sensor. Jika ada pihak berwenang yang mengurus soal konten video seperti Lembaga Sensor Film (LSF) yang mengajukan perintah untuk memotong suatu adegan atau konten, Guntur mengaku bakal mengikuti apa yang diminta.
"Ya, kami ikuti kalau ada perintah seperti itu dari yang berwenang. Yang jelas kami di sini lebih menyerahkan kepada user untuk memiliki kebebasan dalam penyampaian masukan atau keluhan ke kami terkait konten," ucap Guntur.
Hooq resmi hadir di Indonesia pada Kamis, 14 April 2016. Layanan ini memungut biaya berlangganan sebesar Rp49.500 per bulan dan Rp18.700 per minggu yang bisa dibayar dengan metode potong pulsa dari operator seluler Telkomsel, XL Axiata, Indosat, dan Smartfren.
Sebelum Indonesia, Hooq sudah lebih dulu hadir di Filipina, Thailand, dan India. Indonesia tentunya diyakini sebagai pasar potensial 'jajahan' Hooq, mengingat layanan streaming sedang digemari konsumen.
(adt)