Jakarta, CNN Indonesia -- Penurunan biaya interkoneksi sebesar yang tertuang pada Surat Edaran No 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016 diprediksi tidak akan berdampak signifikan bagi konsumen.
Fahmy Radhi, pengamat Ekonomi dan Bisnis UGM mengatakan langkah yang dilakukan Kominfo tersebut sangatlah tidak bijak. Pasalnya sampai saat ini biaya interkoneksi yang berlaku di Indonesia sebesar Rp 250 permenit merupakan biaya interkoneksi termurah dibandingkan negara lain.
Dia mencontohkan Jepang dan Filipina yang kondisi geografisnya tak jauh berbeda dengan Indonesia. Jepang memberlakukan biaya interkoneksi berkisar Rp. 1.447,99 hingga Rp. 2.108,10 per koneksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Berdasarkan perbandingan harga tersebut, adakah urgensi bagi Pemerintah untuk menurunkan biaya interkoneksi di Indonesia?” tanya Fahmy heran, melalui keterangannya.
Baginya, bila alasan penurunan untuk konsumen, bagi dia tidak. Sebab penurunan biaya interkoneksi sebesar Rp 46 permenit sesungguhnya tidak terlalu signifikan bagi konsumen.
“Pasalnya, komponen biaya interkoneksi sebesar Rp. 250 per koneksi itu hanya meng-
cover sekitar 15 persen dari total biaya tarif ritel yang rata-rata berkisar antara Rp. 1.500 hingga Rp. 2.000 per koneksi,” tambah dia.
Fahmi mencium gelagat penurunan biaya interkoneksi tersebut justru berpotensi menciptakan persaingan tidak sehat dan menghambat pertumbuhan pembangunan jaringan telekomunikasi di Indonesia.
Selain
coverage gap pembangunan jaringan telekomunikasi yang tak merata, harga yang ditetapkan pemerintah di bawah harga pokok penjualan (HPP) para operator telekomunikasi.
Tentu saja langkah pemerintah ini akan merugikan para operator penyelenggara jaringan telekomunikasi. Operator yang malas membangun akan semakin malas sedangkan operator yang gencar menggelar jaringan hingga pelosok negeri akan semakin terbatas ruang geraknya. Karena mereka harus menanggung kerugian biaya operasional interkoneksi.
"Padahal pengembangan jaringan telekomunikasi masih sangat dibutuhkan untuk menjangkau seluruh pelosok wilayah Indonesia. Seperti ingin dicapai Presiden Joko Widodo di dalam Nawa Cita,”papar Fahmy.
Seperti kita ketahui bersama pada awal tahun 2015 Kominfo telah membuat Draft Penyempurnaan Regulasi Tarif Dan Interkoneksi. Di dalam draft tersebut dijelaskan bahwa biaya jaringan setiap operator akan berbeda-beda.
Perbedaan tersebut disebabkan adanya perbedaan
coverage, biaya investasi dan utilisasi. Dengan melihat kondisi tersebut, menurut Ian yang paling fair dalam menetapkan tarif interkoneksi adalah dengan menggunakan metode cost base seperti yang tertuang di dalam Draft
Namun kenyataannya draft yang dibuat oleh Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Kalamullah Ramli, diabaikan oleh Menteri Kominfo. Menteri Kominfo tetap bersikukuh ingin menurunkan tarif interkoneksi tanpa memedulikan kajian yang telah dibuat oleh internal Kominfo sendiri yang mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing operator telekomunikasi.
Jika Menkominfo Rudiantara ‘ngotot’ memberlakukan biaya interkoneksi tanpa menggunakan perhitungan yang jelas, kebijakkan baru mengenai interkoneksi bisa menambah peluang operator yang malas membangun jaringan tambah malas membangun.
Sedangkan operator yang rajin membangun akan semakin dikerdilkan karena mereka harus mensubsidi beban operasional interkoneksi.
Sementara itu, Ahmad Hanafi Rais, Wakil Ketua Komisi I DPR-RI menilai selama ini banyak kebijakan Kominfo yang dinilai Komisi I kurang adil dan tidak proposional dan condong berpihak kepada kepentingan asing atau sekelompok industri.
"Indikasi kurang adil dan tidak proposional Kominfo ini sudah menjadi kegelisahan teman-teman di Komisi I. Seharunya pemerintah bisa menjadi wasit yang benar. Dengan kondisi tersebut dalam waktu dekat kami akan meminta penjelasan dari Menkominfo,” terang Hanafi, saat dihubungi.
(tyo)