Jakarta, CNN Indonesia -- Tepat empat hari setelah demonstrasi yang menuntut proses hukum terhadap Calon Petahana Basuki Tjahaja Purnama, muncul dua petisi yang mendukung dan menolak proses hukum terhadap Buni Yani.
Buni Yani yang diduga mengedit video saat Ahok berpidato di Kepulauan Seribu dengan tudukan penistaan surat Al Maidah ayat 51 memicu reaksi pro dan kontra di kalangan netizen.
Pantauan
CNNIndonesia.com untuk petisi daring "Jalankan Proses Hukum Buni Yani, Pengedit Transkrip dan Provokator" melalui situs Change.org hingga Selasa (8/11), pukul 15:30 telah ditanda tangani oleh 156.401 netizen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam transkrip video yang dibuat, Buni Yani menuliskan kalimat Ahok menjadi "Dibohongi Surat Al Maidah 51" yang memicu reaksi dari pemeluk agama Islam. Dalam transkrip editannya, Buni Yani menyebut Ahok menjadi penista agama yang menyebut Al Maidah 51 sebagai sebuah kebohongan.
Petisi yang digagas oleh pengguna yang mengatasnamakan Paguyuban Diskusi ini berniat mengadukan sosok yang mengaku sebagai mantan wartawan, peneliti, dan dosen ini dengan tiga poin utama.
Pertama terkait dengan pembohongan terhadap agama Islam dengan transkrip yang menuduh Petahana melakukan penistaan agama, kedua penggunaan judul video yang disebut menggiring opini publik yang mengarah pada tuduhan Calon Petahana Gubernur DKI sebagai tersangka penista agama, dan ketiga efek provokasi yang mengakibatkan kemaraham mayoritas muslim sehingga berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan dan keamanan.
Sementara di sisi lain, petisi yang digagas oleh Masyarakat Keadilan justru mendukung Buni Yani sebagai sosok yang tidak bersalah dalam menggunggah video pidato Ahok.
Petisi yang sudah ditandangani oleh 17.568 pendukung ini menyebut Buni Yani hanya menjalankan tugasnya sebagai warga negara yang memiliki kebebasan berpendapat sesuai UUD 1945.
Petisi ini juga menyebut semua tuntutan yang ditujukan oleh Buni Yani hanya merupakan preseden yang buruk bagi penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan di Indonesia.
Menurut pandangan dosen komunikasi Universitas Mercu Buana, Farid Hamid munculnya petisi yang memberikan dukungan dan penolakan terhadap proses hukum Buni Yani merupakan sesuatu yang wajar karena berkaitan dengan interpretasi tiap orang yang berbeda-beda.
"Aspek kedewasaan terlihat dari bagaimana menyikapi perbedaan pendapat tersebut karena erat kaitannya dengan latar belakang baik dari
frame of reference maupun
field of experience. Bukan pada sifat atau karakter yang saling menyalahkan, tapi esensinya pada aturan hukum yang berlaku," kata Farid kepada
CNNIndonesia.com melalui pesan singkat.
Munculnya petisi terhadap isu yang sedang berkembang disebut Farid layaknya sebuah mata uang, bisa bermakna positif dan negatif.
"Kemunculan petisi bisa menjadi positif karena merujuk pada keberanian masyarakat mengemukakan pendapat di era demokrasi. Sebaliknya, hal tersebut bisa menjadi negatif karena ketidakpercayaan pemerintah dalam menegakkan hukum," ungkapnya.
Lebih lanjut, ia berharap pemerintah bisa fokus pada prioritas masalah penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Ahok.
"Pemerintah terutama kepolisian harus netral dan objektif dalam menetapkan hukum terkait dengan isu ini. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia," ungkapnya.
Di sisi lain, Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) kemarin (7/11) memastikan akan memeriksa Buni Yani pada Kamis (10/11). Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Rikwanto mengatakan Buni akan diperiksa sebagai saksi atas kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok.
Dalam satus Facebook pribadinya, Buni Yani mengunggaah sebuah video saat Ahok berpidato di depan sejumlah nelayan Kepulauan Seribu yang yang disertai keterangan "dibohongi Surat Al Maidah", padahal di versi utuhnya Ahok menyebut "dibohongi pakai Surat Al Maidah."
Postingan inilah yang kemudian berbuntut panjang, Ahok dianggap menistakan agama dan meicu terjadinya aksi unjuk rasa besar-besaran pada Jumat (4/11) lalu yang berakhir ricuh.
(evn)