Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Malaysia membeberkan bahwa pihaknya belum memiliki rencana untuk memblokir Telegram seperti yang dilakukan Indonesia. Hal ini diungkapkan Wakil Perdana Menteri Ahmad Zahid Hamidi saat ditanyai mengenai pemblokiran aplikasi pesan instan tersebut.
Sebagai negara serumpun, Zahid mengatakan bahwa sejauh ini pihaknya tidak menemukan adanya konten radikal, kriminal atau terorisme di Telegram seperti yang ditemukan di Indonesia.
Seperti diketahui, Kemkominfo mengungkapkan alasan memblokir 11 DNS Telegram lantaran banyaknya konten radikal dan terorisme yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan serta dinilai membahayakan negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut Zahid mengatakan bahwa pemerintah Malaysia akan menghormati hak pengguna Telegram di negaranya untuk mengobrol dengan kontak mereka.
"Pengamatan KDN, terutama oleh Unit Anti Terorisme dan Cabang Khusus Kepolisian Kerajaan Malaysia (PDRM), mendapati bahwa aplikasi (Telegram) sejauh ini belum digunakan dalam hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan atau untuk merekrut atau mengumpulkan dana untuk kegiatan terorisme, " kata Zahid seperti dikutip dari
Channel News Asia.
Kendati demikian,dia justru menyebutkan aplikasi lain yang mengandung konten berbahaya yakni YouTube, WhatsApp dan Instagram. Pemerintah Malaysia berkomintmen untuk terus memonitor penggunaan aplikasi sosial media untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan.
Ia juga menekankan bahwa Malaysia menghormati langkah yang diambil oleh Indonesia untuk mengekang penyebaran terorisme di negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Di sisi lain, Telegram segera memblokir semua saluran publik terkait teroris setelah mendengar layanannya diblokir oleh Kominfo. Tidak hanya itu, tim Telegram juga mengirimkan email ke Kominfo untuk membentuk saluran komunikasi langsung yang memungkinkan keduanya bekerja lebih efisien dalam mengidentifikasi dan menghalangi propaganda teroris di masa depan.
Telegram juga membentuk tim moderator yang mampu berbahasa dan berbudaya Indonesia untuk dapat memproses laporan konten yang berhubungan dengan teroris secara cepat dan akurat.
"Telegram terenkripsi dan berorientasi pada privasi, tetapi kami bukan teman teroris. Setiap bulan kami memblokir ribuan saluran publik ISIS dan mempublikasikannya di @isiswatch. Kami terus berusaha agar lebih efisien mencegah propaganda teroris, dan terbuka dengan gagasan untuk menjadi lebih baik," kata Durov.
Sementara itu, isu kekhawatiran mengenai terorisme terus meningkat di negara-negara Asia termasuk Indonesia yang telah menghadapi beberapa insiden pengeboman dan menelan korban jiwa. Namun, pemerintah memastikan ada kemungkinan situs Telegram kembali dibuka apabila mereka bersedia mengikuti peraturan.
"Sepanjang mereka
comply, tentu akan dilakukan," kata Pelaksana tugas Humas Kemenkominfo Noor Iza melalui telepon kepada
CNNIndonesia.com. (evn)