Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah China benar-benar "kepo" (ingin tahu) terhadap tindak tanduk warganya di internet. Maka, aplikasi dan layanan internet yang tak memfasilitasi keinginan itu akan ditendang dari daratan China.
Untuk mengakali berbagai aplikasi, layanan, dan situs yang kena sensor, warga China biasanya memanfaatkan layanan VPN agar bisa mengakses layanan populer yang tak direstui pemerintah.
Tak cuma untuk memenuhi urusan kesenangan belaka, seperti mengakses Youtube atau Instagram. Akses VPN ini juga berguna bagi ilmuwan, peneliti, dan insinyur, di negara itu mengakses layanan Google yang dilarang pemerintah, namun berguna untuk penelitian dan pekerjaan mereka. Misal untuk mengakses Google Scholar dan GitHub.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
VPN juga banyak digunakan oleh jurnalis untuk mengetahui peristiwa global, pelajar yang belajar di luar negeri, dan pebisnis untuk berkomunikasi dengan klien mereka diluar.
Maka ketika penggunaan VPN marak digunakan, pemerintah tak terlalu ambil pusing karena mereka yang menggunakan layanan itu adalah kelas menengah yang dianggap turut memajukan ekonomi China.
Tapi, Maret lalu, pemerintah China tampaknya mulai berubah pikiran. Mereka mulai mempraktekan pembatasan penggunaan VPN. Hanya VPN yang bisa diawasi pemerintah yang boleh digunakan oleh pengguna individu. Kebijakan ini mendapat protes warga yang khawatir hal ini malah akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Alasannya, berkompetisi secara global saja sudah sulit dengan adanya Great Firewall. Pemblokiran VPN jelas tak akan mendorong kreativitas juga. Warga juga melihat kebijakan ini akan membatasi pekerja asing di negara itu.
Akademisi China bahkan menganggap kebijakan ini akan menghalangi China sebagai pusat inovasi global selama negara ini tetap terputus dari dunia luar secara digital. Bahkan "bapak" Great Firewall China juga sudah mengingatkan pemerintah China agar merawat internet dengan hati-hati. "Jangan berhenti makan hanya karena takut tersedak," demikian dikutip dari
Bloomberg.
Peringatan dan penangkapanAwal bulan ini seorang pria di China ditangkap gara-gara menjual VPN bagi mereka yang ingin mendapat akses berbagai layanan yang dilarang. Deng Jiewei dan seorang rekannya sudah menjual software VPN sejak Oktober 2015 namun baru tertangkap Agustus tahun lalu. Selama 10 bulan, pria ini brhasil mengumpulkan sekitar Rp28 juta.
Warga yang menggunakan akses VPN pun mendapat peringatan di layar komputer mereka. Peringatan itu meminta mereka segera memutuskan sambungan pribadi tersebut.
Sementara mereka yang mendapat penghasilan lebih dari Rp10 juta dari penjualan VPN akan didenda tiga kali lipat atau sekitar Rp30 juta, demikian dilaporkan
South China Morning Post. Saat ini pemerintah masih melakukan sosialisasi selama pelarangan VPN selama 14 bulan. Tahun depan, pemerintah berharap China daratan sudah bersih dari layanan VPN ilegal.
(eks)