Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti menyebut bahwa penyalahgunaan data pengguna
Facebook yang diduga digunakan untuk mengarahkan Pemilu di Amerika Serikat yang akhirnya memenangkan Donald Trump disebut peneliti menggunakan cara microtargeting.
Hal ini diungkap Dedy Permadi, Managing Director di Center for Digital Society Universitas Gajah Mada (UGM) yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Siberkreasi Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Menurut Dedy, dalam ilmu komunikasi digital microtargeting ini didefinisikan sebagai cara untuk mengidentifikasi preferensi individu dari jejak aktivitas digital mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Cara ini dipakai Cambridge Analytica untuk mendukung kampanye Trump," tuturnya saat dihubungi
CNNIndonesia.com lewat sambungan telepon, Senin (23/4).
Teknik microtargeting ini sebenarnya sudah jamak dilakukan dalam teknik pemasaran. Para pengiklan juga menggunakan cara serupa. Tujuannya tentu untuk mengidentifikasi selera dan perilaku konsumen tertentu yang akan disasar agar penjualan mereka lebih efektif.
Cara ini juga membantu kandidat politik untuk mengidentifikasi dan berinteraksi dengan pemilih agar kampanye mereka lebih efektif di era informasi seperti saat ini.
Dedy juga menaruh perhatian atas kemungkinan penyalahgunaan data satu juta pengguna Facebook Indonesia dilakukan untuk kegiatan microtargeting.
"Saya tidak katakan untuk politik, (tapi) peluang untuk bikin microtargeting jadi mudah," terangnya.
ProfilingHal ini menurut Dedy penting untuk dipahami lantaran dengan teknik mikrotargeting membuat pengguna data mudah untuk mengidentifikasi preferensi individu atau disebut profiling (membuat profil).
Ketika preferensi target telah diketahui, maka pengguna data bisa menerapkan strategi komunikasi tertentu untuk menggiring pilihan target kepada tujuan politik tertentu.
"Itu sangat penting sekarang, karena menggiring preferensi orang sangat tergantung profil individu. Makin valid maka makin mudah mengarahkan ke preferensi tertentu."
Setelah profil seseorang dibentuk, maka akan lebih mudah bagi tim kampanye untuk mengarahkan preferensi seseorang berdasarkan kebiasaan, kesukaan, dan hal-hal yang ia tentang misalnya.
"Mereka punya sederet konten untuk menggiring preferensi orang," lanjut Dedy.
Sebagai contoh, jika ada profil orang A yang mendukung isu kesetaraan gender dan menentang diskriminasi ras. Maka tim kampanye Presiden X bisa mengarahkan agar konten yang tampil di Facebook A terkait konten yang menunjukkan calon Presiden X mendukung kesetaraan gender dan tidak rasis. Opsi lain, menampilkan konten hoaks bahwa presiden Y rasis dan anti kesetaraan gender.
"Itu kenapa microtargeting efektif, karena sampai level individu," lanjut Dedy lagi.
Hal ini menurutnya berbeda dengan hasil yang didapat dengan komunikasi massal, seperti kampanye di hadapan publik misalnya
"Kalau ngomong di alun-alun kita enggak tahu efektivitasnya, karena massal. Kita enggak tahu apakah semua orang akan seneng apa tidak," jelas dosen FISIP UGM itu lagi.
"Kalau udah sampe sentuh profil individu dan sampai profiling individu maka akan jauh lebih efektif untuk menggiring preferensi individu," tandasnya.
Strategi lawasMicrotargeting ini sebenarnya bukanlah hal baru, karena cara ini juga seringkali digunakan pada teknik pemasaran di internet. Cara yang digunakan untuk mengindentifikasi selera konsumen dan perilaku mereka. Ini adalah teknik baru di era informasi dan data seperti saat ini.
Di Amerika Serikat, cara ini telah dibahas sejak pemilihan Presiden pada 2012 yang saat itu dimenangkan Obama. Kampanye Obama memang lekat dengan media sosial sejak pertama kali menang di 2008.
Hal ini diakui oleh perusahaan strategi politik seperti Democratic DSPolitical dan CampaignGrid yang digunakan Partai Republik. Mereka membeli data pengguna internet, baik berupa jejak peramban hingga menggunakan jasa Google untuk mengoleksi data demografis pengguna.
Namun, mereka menyebut bahwa cara ini tidak melanggar privasi lantaran mereka tak diberi informasi spesifik orang per orang, tapi penargetan dilakukan atas pola pengguna.
Sebagai contoh, Google Political Toolkit dan kampanye Youtube menawarkan kandidat untuk mempromosikan video mereka menggunakan Google Adword untuk menjangkau pengguna berdasarkan kriteria tertentu, apakah umur, jenis kelamin, lokasi, atau hal lainnya seperti disebutkan
CNN.
Namun di Indonesia, Google menyebut tidak memerikan layanan kampanye politik seperti ini.
Strategi microtargeting disebutkan Eitan Hersh, profesor ilmu politik dari Universitas Yale yang mempelajari pengaruh microtargeting terhadap kampanye dan proses politik.
"Orang-orang suka ditargetkan dalam banyak cara," kata Hersh. "Banyak orang suka ketika Amazon tahu (dan memberi tawaran) jenis buku apa yang mereka suka," jelasnya.
Sehingga, cara serupa pun diterapkan pada kampanye politik.
"Jika (penggelar) kampanye tahu bahwa Anda memiliki nilai-nilai tertentu berdasarkan agama, ras, dan tingkat pendidikan. Anda mungkin akan ditargetkan dengan kampanye yang cocok pada nilai-nilai itu," tambahnya.
(eks)