Jakarta, CNN Indonesia -- Paul Toar ketua Perhimpunan Distributor, Importir, dan Produsen Pelumas Indonesia (PERDIPPI) mengatakan SNI wajib bagi produk pelumas justru akan mempersempit cakupan landasan dari standar kualitas pelumas yang saat ini telah dipasarkan.
Menurutnya, selama ini standar kualitas pelumas telah diatur pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi 019K/34/M.PE/1998 tentang Wajib daftar pelumas yang beredar di dalam negeri. Keputusan itu juga menerbitkan peraturan tentang Nomor Pelumas Terdaftar (NPT).
Hal tersebut juga sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dan turunannya yakni Keppres Nomor 21 Tahun 2001, serta Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Keuangan, serta Menteri Perindustrian dan Perdagangan).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari beberapa peraturan itu dipastikan dia bahwa standar dan mutu pelumas dapat menjadi wewenang dan tanggung jawab Menteri ESDM.
"Karena standar mutu pelumas sudah dijamin dengan regulasi NPT mengacu pada syarat-syarat standar internasional bagi pelumas yang belum ada SNI-nya dan mengacu pada standar SNI bagi pelumas yang sudah ada SNI-nya dari BSN (Badan Standarisasi Nasional)," kata Paul di Jakarta belum lama ini.
Selain beberapa regulasi yang sudah diterapkan saat ini, Ia mengatakan itu juga sudah diperkuat kebijakan lain dari pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2001. Aturan itu mewajibkan prosedur uji laboratorium dan pendaftaran bagi semua pelumas yang beredar di Indonesia.
Dengan dasar NPT tersebut, Paul mengklaim bahwa pelumas yang beredar di dalam negeri telah memenuhi standar mutu tidak hanya SNI tetapi juga internasional.
Beban ke konsumenIa melanjutkan bahwa penerapan SNI sendiri pastinya akan memakan biaya yang tidak sedikit. Di mana biaya tersebut dikatakan dia akan membebani industri serta konsumen dan berujung kenaikan harga pelumas.
Dalam catatannya, erkiraan biaya sertifikasi SNI per SKU (
Stock Keeping Unit) nilainya, Biaya sertifikat Rp10 juta, biaya audit pabrik per tahun Rp35 juta- Rp100 juta, biaya sertifikat lain Rp5 juta, biaya tes serta evaluasi Rp20 juta, dan biaya akomodasi per orang Rp10 juta- Rp100 juta.
Dengan demikian, total biaya atau anggaran yang harus disiapkan oleh produsem dapat mencapai Rp80 juta- Rp235 juta per tahun per SKU. Biaya ini juga belum termasuk
engine performance test, surveillance test, re-test, re-audit, serta pajak.
Ia menambahka bahwa industri juga akan semakin sulit bersaing. Sehingga, patut diduga upaya pemberlakuan ketentuan SNI Wajib tersebut merupakan bagian dari cara menghadang produk impor dalam persaingan.
Kepala Biro Humas Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Taufik Aryanto menjelaskan ada potensi persaingan usaha tak sehat standar SNI untuk pelumas ditetapkan.
Dijelaskan Taufik, penerapan wajib SNI bakal membuat suplai oli atau pelumas di dalam negeri berkurang drastis terutama pelumas impor dan menyebabkan pasar dikuasai sebagian produsen saja.
"Bisa aja (seperti itu) kalau oli impor berkurang dalam jumlah signifikan. Jadi pilihan makin terbatas. Otomatis persaingan pasar oli berkurang," kata Taufik saat dihubungi
CNNIndonesia.com. (mik)