Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) menyebut saat ini terdapat miskonsepsi sehingga menyebabkan stigma negatif terkait
Bitcoin dan
blockchain. Hal ini menjadi salah satu tantangan untuk mengembangkan catatan
transaksi digital di Indonesia.
Direktur Eksekutif ABI, Muhammad Deivito Dunggio menyebut Bitcoin sering dianggap untuk memberikan pendanaan kepada teroris dan pencucian uang.
"Tantangan terbesar adalah stigma dan miskonsepsi yang masih melekat terhadap Bitcoin dan
blockchain sendiri. Bitcoin sudah sangat terstigma dengan penggunaan pendanaan terorisme dan pencucian uang," kata Deivito kepada awak media usai acara konferensi pers Empowering Blockchain Summit 2019 di Jakarta, Rabu (14/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut kata Deivito, penggunaan teknologi
blockchain sendiri tidak terbatas pada aset kripo namun sebagai teknologi pencatatan digital.
Dia mengatakan berkat teknologi pencatatan digital atau yang lebih dikenal dengan blockchain itu, semua sektor industri seperti kesehatan, badan amal, dan
supply chain (rantai pasokan) mempermudah pekerjaan.
"Semua bentuk transaksi yang butuh pencatatan, pasti bisa menggunakan teknologi
blockchain ini. Mulai dari kesehatan, charity, supply chain semuanya itu butuh pencatatan jadi itu semua sangat cocok digunakan
blockchain," jelas Deivito.
Kendati demikian, ABI mengakui bahwa tingkat literasi masyarakat soal
blockchain khususnya masih sangat rendah di Indonesia bahkan belum menyentuh angka satu persen.
"Literasi bisa saya bilang sangat rendah, belum satu persen. Maka kenapa asosiasi ini berdiri untuk meningkatkan literasi [
blockchain]," tutur Deivito.
Selain itu ABI berharap tahun 2020 tingkat perusahaan rintisan berbasis
blockchain di Indonesia makin bertambah. Sebab, menurut catatan ABI, sebagian besar startup masih berkecimpung di perdagangan aset kripto.
"(Sebanyak) 70 persen [
startup] perdagangan kripto aset sisanya adalah perusahaan
supply chain, perpajakan, dan manajemen data," pungkas Deivito.
(din/eks)