Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah tidak memberikan definisi kesusilaan yang jelas, sehingga dapat dipersepsikan beragam. Diskursus mengenai pasal 27 ayat 1 UU ITE kembali mengemuka setelah kasus Kimi Hime mencuat.
Ia dikenakan pelanggaran pasal 27 ayat 1 UU ITE lantaran dianggap membuat konten video Youtube yang tidak sesuai dengan nilai kesusilaan. Sebab, dalam konten video yang ia buat, seringkali mengenakan pakaian yang terbuka. Padahal konten yang ia buat adalah gim yang kerap ditonton anak-anak.
Tiga aturan yang mengatur soal kesusilaan adalah UU KUHP, UU ITE pasal 27 ayat 1 dan UU Pornografi. Dari tiga aturan ini, Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menilai hanya KUHP dan UU Pornografi yang memberi batasan mengenai susila. Namun hal itu tidak ada dalam UU ITE.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal 27 ayat 1 tidak mendefinisikan tentang kesusilaan yang diatur dalam UU tersebut. Sementara jika merujuk ke pasal yang tercantum di KUHP, kesusilaan diartikan sebagai tindakan pornografi dan pornoaksi, mempertunjukkan alat kelamin, zinah dan perbuatan cabul serta pemerkosaan.
Perspektif sosiologi
Dalam konteks sosiologi, asusila didefinisikan sebagai penyimpangan dari norma yang berlaku. Sehingga definisi mana yang susila dan asusila tergantung dari budaya yang dominan dari suatu masyarakat.
"Ada unsur kerelatifan kultur," jelas pakar Sosiologi UI, Daisy Indira, ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (16/8).
Sehingga menurut Daisy, perdebatan mengenai kesusilaan adalah proses yang dinamis. Sebab menurutnya, tiap kelompok masyarakat punya standar penilaian mereka sendiri. Ia lantas mencontohkan kasus konten kreator Kimi Hime.
"Ada orang yang menggunakan konsep menutup aurat, itu kan berbasis agama, itu (aksi Kimi Hime) jadi salah kan. Tapi dibalik itu Kimi Hime punya argumen baju yg dia pakai itu hak dia. Nah itu sudah berlainan nilainya," tuturnya.
 Kimi Hime (tengah) Youtuber yang meminta agar pasal 27 UU ITE mengenai kesusilaan diperjelas (CNN Indonesia/Dini Nur Asih) |
Perspektif budayaSementara dari sisi budaya, budayawan Sujiwo Tedjo menyatakan susila itu selalu disesuaikan dengan kondisi, tergantung ruang dan waktu. Ia lantas mencontohkan bagaimana batasan susila berubah dari masa ke masa.
"Dulu di sekitar Salatiga, 20 tahun yang lalu, awal 2000-an, perempuan mandi di pancuran nggak pake BH itu nggak apa-apa. Masyarakat setempat menganggap biasa, malah saya yang dari kota yang ngintip-ngintip," tuturnya sembari berkelakar ketika dihubungi lewat sambungan telepon, Jumat (16/8).
Berlanjut ke halaman berikutnya: Sujiwo Tejo khawatir semakin ditutupi, malah semakin dicari
[Gambas:Video CNN]
Sujiwo mengungkap kekhawatirannya jika pemerintah terlalu ketat menyensor, masyarakat malah makin mencari. Ia menyarankan agar hal-hal yang dianggap melanggar susila tersebut dibatasi.
Terkait pembatasan susila, menurutnya pemerintah mesti menguji terlebih dulu mana yang memang secara umum dipandang asusila. Serta memilahnya dari hal-hal yang memang karena belum terbiasa. Menurutnya, pemerintah juga tak bisa memberi satu patokan susila berdasarkan patokan satu agama tertentu saja, karena Indonesia bukan negara agama.
"Pada 70-an saya tidak ada bayangan perempuan boleh kerja malam hari [...] Dulu aku liat perempuan yang kerja malam itu nggak bener [...] karena doktrin yang ditanamkan perempuan nggak boleh keluar malam," tuturnya.
Ketatnya aturan perempuan tidak boleh keluar malam ini, lantas ia contohkan pada pertunjukkan ludruk. Dalam ludruk, pemain permpuan dimainkan oleh laki-laki karena zaman dahulu perempuan tidak boleh keluar malam. Hingga, sampai sekarang hal itu dijadikan patokan kalau pemain ludruk itu harus laki-laki.
Perspektif HAMSementara itu, Wahyudi menilai ada kesulitan untuk menakar kesusilaan. Berbeda dengan pornografi yang lebih memiliki standar moral publik.
"Kalau dalam HAM itu kan dikenal moral publik, misalnya orang tidak boleh telanjang di depan umum. Itu kan disetujui semua komunitas kalau itu melanggar moral publik. Tapi kalau kesusilaan, tiap kelompok itu beda-beda," tuturnya.
Wahyudi lantas mencontohkan permasalahan menggunakan rok mini. Hal ini bisa menimbulkan perdebatan karena ada yang bilang melanggar, ada yang tidak. Sehingga, tanpa adanya standar yang jelas menurutnya pemblokiran konten yang dianggap melanggar susila bisa menjadi sangat subjektif.
Senada dengan Pakar Hukum Pidana Asep Iwan Iriawan pun menyebut bahwa jika berbicara soal kesusilaan dan pornografi merupakan hal sensitif dan multitafsir, artinya bergantung pada cara individu memandang kesusilaan itu sendiri.
"Kalau bicara soal kesusilaan dan pornografi, itu sensitif dan multitafsir, tergantung cara memandang. Makanya hati-hati terhadap kesusilaan, banyak bertebaran bikin kaidah-kaidah pidana yang akhirnya lahir pasal 27 ayat 1," jelas Asep.
Menurut Asep, masalah kesusilaan bisa dikaitkan dengan pasal 282 KUHP dan UU Pornografi. Asep juga menyarankan agar definisi asusila lebih jelas, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bisa merujuk ke pasal 27 ayat 3.
"Pasal 27 ayat 1 kembalikan saja ke pasal 27 ayat 3, supaya kesusilaan kembali ke KUHP [kitab undang-undang hukum pidana] dan perundang-undangan," tuturnya.
 Kesusilaan multi tafsir dan punya batasan berbeda dari satu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya, pun nilainya berubah dari waktu ke waktu. (Rudi Mulya) |
Perlu dialog dan batasanDi Indonesia sendiri menurutnya belum ada kesepakatan mengenai perbuatan susila ini. Sehingga untuk menemukan batasan yang pasti mengenai kesusilaan ini, Daisy berpendapat semua pemegang kepentingan harus bertemu.
"Harus ada kesepakatan hukum, semua stake holder masyarakat harus bertemu. Kalau tentang konten digital harus ada konten creator misalnya [...] akademisi, tokoh masyarakat harus ikut karena penting," paparnya.
Ia pun membeberkan bahwa harus ada rincian apa yang boleh dan tidak dalam aturan tersebut. Sehingga para pembuat konten punya panduan ketika membuat konten.
"Jadi para
content creator punya panduan apa yg bisa dan tidak boleh dilakukan. Tapi kebebasan berpendapat harus ditunjang dengan responsibilitas sebagai warga negara harus ditonjolkan. Bebas tapi bertanggung jawab. Kalau merugikan orang kan salah."
Di sisi lain, Wahyudi malah menyarankan agar batasan itu dibuat oleh pemilik platform. Menurutnya, penyedia platform bisa memberi rincian sampai di level mana suatu konten dianggap bertentangan dengan hukum karena melanggar kesusilaan.
"Jadi ada detail bahwa kalau levelnya sudah sampai 5 misal dari 1 sampai dengan 5 kalau levelnya sudah sampai 5 harus di
take down, kalau masih 1 belum di
take down," jelas Wahyudi.
Selain membuat standar, menurut Wahyudi pemilik konten juga perlu diberi ruang. Penyedia layanan seperti Youtube juga harus membuka kesempatan pemilik konten berargumen bahwa konten yang ia buat tidak melanggar kesusilaan berdasarkan aturan yang berlaku.
"Kalau pemerintah yang melakukan, (mesti) ada prosedur yang jelas dan dibuka mekanisme untuk melakukan upaya perlawanan untuk menanyakan apakah itu [konten] betul melanggar kesusilaan atau tidak," tandasnya.