Seekor paus pilot kepayahan terdampar di Thailand Selatan, April lalu. Dia ditemukan nelayan setempat dalam kondisi lemah mendekati pantai di kanal perbatasan Thailand-Malaysia.
Hewan air itu sempat memuntahkan lima lembar plastik saat dihalau kembali masuk laut. Namun nyawanya tidak terselamatkan. Dari pembedahan pasca-kematian (nekropsi) ditemukan 80 lembar lagi kantong plastik dalam perutnya.
“Plastik akan menutup saluran cerna. Jadi makanan yang masuk tidak dapat diproses menjadi energi. Akhirnya paus kehilangan banyak energi…. Nah kalau 80 lembar menurut saya sudah parah banget. Kematian menurut saya ya disebabkan plastik tersebut,” kata drh Maulid Dio Suhendro menjelaskan dugaan sebab-musabab kematian si paus.
Di Thailand, catatan tak resmi menyebut sedikitnya 300 hewan laut keracunan plastik sampai mati tiap tahun. Mulai dari paus hingga kura-kura. Di Indonesia, situasinya bisa jadi mirip meskipun tak ada catatan serupa.
Dio bersama tim penyelamat satwa laut IAM-Flying Vet dari Asosiasi Dokter Hewan Megafauna Akuatik Indonesia pernah mendapati kasus serupa di Pantai Paloh, terletak di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat.
“Februari 2018… Kami mendapati ada penyu terdampar dan saluran cernanya tertutup plastik. Akibatnya makanan yang kita berikan pun tidak mampu dicerna,” tambah Dio.
Sejauh ini satwa laut diduga menelan plastik ukuran besar itu tanpa sengaja – karena mengira benda sintetis ini sejenis makanan yang mengapung di samudra. Plastik ini akan masuk dalam sistem pencernaan dan kemudian mengganggu penyerapan nutrisi.

Lini Masa Bumi & Plastik

Dibandingkan usia bumi yang mencapai 4,56 miliar tahun, umur plastik hanya pecahan kecil. Namun, penggunaan berlebih membuat plastik mengotori bumi.

Di darat, kasus hewan menelan plastik juga bukan hal aneh. Sapi yang dibiarkan bebas berkeliaran mencari tanaman semak, seringkali nyasar masuk tempat pembuangan sampah dan memamah plastik. Awal Februari lalu di India hampir 50 ekor sapi mati karena diduga kebanyakan makan plastik. Setelah dibedah, limbah yang ditemukan dalam tubuh hewan ternak dari sebuah peternakan dekat New Delhi itu mencapai sekitar 80 kg.
Di Indonesia kasus puluhan sapi mati diduga gara-gara konsumsi plastik sudah muncul di media sejak bertahun-tahun lalu.
Pada 2011, puluhan sapi juga mati di Sidrap, Sulawesi Selatan, dengan puluhan kilogram plastik dalam perut.
Kalau hewan mati karena konsumsi plastik, apakah manusia juga bisa?
Plastik dalam ukuran besar seperti yang ditelan paus dan sapi mungkin tak akan dimakan manusia. Namun lain hal kalau potongannya sangat kecil kurang dari 5 mm atau seukuran kutu rambut – lazim disebut sebagai mikroplastik.
Lalu bagaimana jika remahan ini masuk dalam air minum, terhirup saluran pernapasan, atau dikonsumsi ternak dan ikan?
Pertanyaan ini menjadi salah satu fokus terpenting kajian ilmuwan di seluruh dunia saat ini.
“Kita belum tahu. Belum ada penelitian tentang ini di dunia. Sekarang kita tahu kebutuhannya sangat mendesak karena polusi mikroplastik ternyata sangat masif di seluruh dunia,” kata Reza Cordova, peneliti LIPI yang mendalami paparan mikroplastik di laut.
Sejauh ini penelitian menunjukkan polusi mikroplastik ditemukan hampir di seluruh muka bumi, bahkan di palung laut terdalam.
Dengan produksi plastik dunia yang diperkirakan lebih dari 300 juta ton per tahun –separuhnya untuk produk sekali pakai—situasi ini diperkirakan akan makin buruk.
Forum Ekonomi Dunia (WEF) memprediksi pada 2050 jumlah sampah plastik akan lebih banyak dibanding suplai ikan. Sampah mikroplastik akan lebih banyak dari jumlah plankton.
Meski akrab dengan manusia, rasa plastik mungkin sukar didefinisikan. Siapa sih yang dengan sengaja mau makan plastik?
Namun bukan berarti manusia tidak mengonsumsi plastik, setidaknya dalam bentuk mikro. Bahkan hal ini sudah berlangsung cukup lama di seluruh dunia.
Orb Media, sebuah platform media yang fokus pada isu yang mempengaruhi kemaslahatan warga dunia, menginvestigasi kualitas air minum botolan di lima benua dan merilis penelitiannya pada September tahun lalu.
Dari 250 jenis air minum kemasan yang diambil dari 19 titik di sembilan negara (termasuk Indonesia) dengan 11 merek yang berbeda, ditemukan 93% di antaranya mengandung partikel plastik. Hanya 17 botol yang bebas mikroplastik.
Investigasi Orb Media sebelumnya juga menunjukkan publik mengonsumsi mikroplastik dari air keran. Penelitian itu memperlihatkan 83 persen air keran yang diambil contohnya dari 159 tempat di 14 negara di lima benua –termasuk di antaranya Indonesia—mengandung mikroplastik.
Berbagai media utama di seluruh dunia menulis beritanya. Banyak orang pun terpana. Namun, menurut salah satu peneliti dalam tim riset ini, Marie Kosuth dari School of Public Health Universitas Minnesota di Amerika Serikat, hasilnya sebenarnya tak mengagetkan.
“Sejujurnya, temuan ini tidak terlalu mengejutkan buat saya jika mempertimbangkan betapa kita boros dengan konsumsi plastik, terutama jenis yang sekali pakai. Bahwa masyarakat kelihatan kaget mungkin karena sistem pengolahan limbah kita sangat efisien menyembunyikan (atau mengubur atau membakar) limbah-limbah ini setelah kita pakai,” kata Kosuth lewat email.
Untuk menyelesaikan studi pasca-sarjananya di bidang kesehatan lingkungan, Kosuth juga menyelidiki kandungan plastik dalam garam yang diekspor ke Amerika Serikat dan bir yang diproduksi secara lokal.
Hasilnya sama. Ada mikroplastik dalam produk-produk itu.
Pendiri Orb Media, Molly Bingham, berpendapat bahwa yang mengejutkan bukan temuan investigasi itu sendiri, melainkan kenapa dalam kondisi demikian parah belum ada yang menyelidiki isu mikroplastik dalam minuman.
Bingham menilai keterkejutan publik itu adalah tanda investigasi lanjutan penting dilakukan.
“Sebagai bagian dari masyarakat global, kita semua perlu bekerjasama: industri, pemerintah lokal dan nasional, warga negara, akademisi, aktivis. Untuk menyerukan supaya makin banyak riset tentang ancaman, sumber bahaya dan potensi risiko terhadap kesehatan manusia yang ditimbulkan mikroplastik.”
Studi tentang dampak mikroplastik mulai tercatat dalam jurnal peer-review sekitar 45 tahun lalu. Artinya setelah plastik masif dipakai di seluruh dunia.
Namun studi yang fokus pada daya rusak plastik terhadap keragaman mahluk hidup baru mulai intensif dilakukan dalam 1-2 dekade terakhir. Sebagian ilmuwan menilai ilmu pengetahuan sudah tertinggal jauh dari laju polusi mikroplastik.
Nenek moyang plastik belum terlalu lama ditemukan. Plastik dalam pengertian yang dipahami paling umum saat ini sebagai produk yang sepenuhnya sintetik diyakini ditemukan awal tahun 1900-an.
Ahli kimia Belgia, Leo Baekeland, membuat percobaan yang kelak dipatenkan sebagai Bakelite: berbahan dasar polimer dari reaksi fenol dan formaldehyde. Hasilnya dikenal sebagai thermoset, material yang tak bisa larut. Kata platykos dari Bahasa Yunani (mudah dibentuk) kemudian dipakai sebagai nama generik temuan baru sintetik ini - plastik.
Produk baru ini dianggap revolusioner karena sifat mudah diubah-bentuk, tak menghantar listrik dan nyaris bisa diserasikan untuk produk apa saja mulai dari alat elektronik sampai barang dapur. Harganya murah, masa paketnya awet. Industri sangat diuntungkan, konsumen juga senang.
Produksi plastik pun meroket. Studi yang dirilis sekelompok ilmuwan di Majalah Science Juli tahun lalu menyebut sejak teknologi modern mengolah plastik tahun 1950an, produksi plastik seluruh dunia mencapai 8,3 miliar ton. 6,3 miliar ton plastik dari jumlah tersebut kini jadi limbah. Kurang dari sepersepuluhnya didaur ulang tetapi sisanya dibakar (12%) atau dibuang begitu saja ke alam bebas (77%).
Di Indonesia, Reza Cordova mengkonfirmasi catatan ilmiah ini lewat serangkaian penelitiannya di 12 perairan Indonesia. Laporan penelitiannya yang dipublikasikan tahun 2016 menyebut penemuan jejak mikroplastik di kedalaman ribuan meter di bawah permukaan laut dalam Sumatera.
“..Mikroplastik muncul dalam sedimen laut barat Sumatera dengan kedalaman lebih dari 2000m, menandakan bahwa plastik, yang selama ini dianggap sebagai material buatan baru (baru diproduksi setelah abad 19), telah menyerbu ke wilayah perairan, sampai ke titik-titik perawan…”
Ekosistem perairan memang jadi korban paparan plastik paling parah. Seperti bak cuci piring yang menampung semua sisa dan bekas makanan, laut jadi tujuan akhir limbah mikroplastik dunia.
Tidak mengherankan kalau sebuah studi lain yang juga diterbitkan majalah Science edisi Februari 2015 menghitung tiap tahun rata-rata 8 juta ton plastik berakhir di samudra di sekeliling kita. Tahun 2025 jumlah itu malah diperkirakan akan naik lagi dua kali lipatnya.
Hari-hari ini Reza Cordova sedang sulit dihubungi. Peneliti bidang Oseanografi LIPI itu kerap melaut berminggu-minggu untuk menyelidiki dampak mikroplastik di lautan Indonesia. Studinya yang terbaru berupaya menjawab pertanyaan lebih besar: apa dampak mikroplastik pada ikan di laut.
“Jika ikan dipaparkan atau diberikan plastik sebagai pangan, dalam artian ikan akan makan plastik secara sengaja atau tidak - apakah ada stres, pengaruh terhadap organ tubuh si ikan dan dampak lain?” Reza menyarikan studinya.
Ini pertanyaan penting karena ikan adalah salah satu produk konsumsi utama di Indonesia. Penelitian di Asia dan Eropa yang udah lebih dulu dipublikasikan mendeteksi perubahan sifat dan ekosistem akibat paparan mikroplastik pada beberapa spesies ikan dan tiram.
Tapi apakah ikan yang terdampak paparan polusi mikroplastik di laut akan meneruskan paparan itu pada manusia yang menkonsumsinya – jika iya, apa akibatnya? Reza memperkirakan butuh beberapa tahun untuk menjawab pertanyaan ini.
Keprihatinan soal plastik dalam bahan pangan juga membuat Mary Kosuth dari dari School of Public Health Universitas Minnesota cemas. Setelah meneliti paparan mikroplastik pada garam, bir, air keran dan air minum botolan ia sangat ingin tahu apakah unsur plastik juga ada dalam makanan standar konsumsi.
“Kalau ada material plastik dalam bahan pangan maka ancaman kesehatannya bisa muncul dari bahan tambahan yang dipakai plastik seperti Phthalates atau Bisphenol A,” kata Kosuth.
Bisphenol A (lazim disingkat BPA) dipakai untuk membuat plastik polikarbonat yang tahan pecah dan berwarna bening: ideal untuk produksi botol minum sampai kacamata olahraga.
BPA adalah material favorit bagi produsen makan-minum bayi mulai dari botol dan cangkir susu, kontener makan, sampai plastik gigitan tumbuh gigi. Sementara Phthalates adalah bahan aditif yang membuat plastik lentur dan lembut, ideal untuk mainan bocah sampai kosmetik dan kemasan makanan.
Studi pada hewan menunjukkan kedua bahan kimia ini berdampak negatif pada tubuh kembangnya. Kasus gagal ginjal hingga kemandulan ditemukan dalam percobaan laboratorium pada hewan yang dipapari level tinggi BPA dan Phthalates. Tapi sekali lagi, studi yang sama pada manusia belum ada.
Sayangnya kata Kosuth, meski perhatian terhadap isu mikroplastik saat ini tampak besar, dukungan dana untuk meneliti masih terbatas.
“Saya sih ingin sekali dapat kesempatan buat studi baru untuk produk konsumsi lain. Tapi kan butuh dana ya. Harapannya dengan membaca hasil penelitian kami, makin banyak pemerintah dan organisasi lain yang terdorong ikut meneliti lebih jauh,” Kosuth berharap.
Salah satu studi tentang dampak paparan mikroplastik terhadap manusia dipublikasikan tahun lalu. Sekelompok ilmuwan Institute of Environmental Assessment and Water Research di Spanyol menemukan kaitan antara material mikroplastik dan nanomaterial dan bahayanya terhadap sel otak dan sel kulit.
Dalam studi ini dipakai unsur polyethylene dan polystyrene sebagai contoh mikroplastik. Polyethylene adalah jenis plastik paling umum di dunia, ramuan dasar yang dipakai sebagai plastik bungkus mulai dari kantong kresek, kotak kemasan sampai botol bayi.
Sementara polystyrene juga sangat mudah ditemui karena antara lain dipakai sebagai bahan pembuat Styrofoam dan gelas plastik.
Kontaminasi dua jenis mikroplastik ini (dan bahan nanomaterial lain) menurut penelitian ini berpengaruh terhadap kelangsungan hidup sel melalui proses stress oksidatif (oxidative stress) – suatu proses di mana jumlah radikal bebas di dalam tubuh melebihi kapasitas tubuh untuk menetralkannya sehingga akibatnya oksidasi sel tubuh normal meningkat pesat dan makin banyak sel menjadi rusak dan mati.
Perlu penelitian lanjut untuk mendalami apa dampak sifat membunuh sel yang muncul pada reaksi setelah paparan mikroplastik. Misalnya apakah dampaknya menyebabkan kanker, tumor, gagal ginjal atau penyakit parah lain? Atau apakah pengaruhnya tak signifikan terhadap tubuh manusia?
Professor Hans-Peter Grossart dari Leibniz Institute of Freshwater Ecology and Inland Fisheries memimpin sebuah tim peneliti lain yang mencoba mencari tahu isu yang tak kalah seram: apa dampak mikroplastik terhadap pertumbuhan bakteri yang kebal antibiotik?
Kasus kekebalan antibiotik (antimicrobial resistance) adalah salah satu isu terbesar dunia kesehatan saat ini. Setelah ditemukan beberapa kasus di mana pasien gagal disembuhkan setelah terinfeksi virus/bakteri, muncul ketakutan besar virus dan bakteri jahanam akan menyebar ke seluruh dunia dan menjadi wabah mematikan .
Bersama sekelompok ilmuwan Jerman, Grossart menguji dugaan bahwa mikroplastik menjadi media yang menyuburkan kegiatan transfer gen horizontal (HGT) antar mikroorganisme. Dalam percobaan, Grossart memakai organisme yang membawa gen resisten terhadap antibiotik.
Ketika diletakkan dalam lingkungan terpapar mikroplastik, proses transfer horizontal gen terhadap bakteri yang ada dalam lingkungan mikroplastik tersebut naik pesat. Karena mikroorganisme yang diujicoba mengandung gen resisten antibiotik, maka keberadaan mikroplastik mendongkrak proses transfer gen yang resisten terhadap antibiotik - termasuk di dalamnya bakteri pat ogen yang berbahaya.
Grossart mengatakan tak terlalu terkejut mendapati hasil ini. Yang mengerikan menurutnya adalah polusi mikroplastik yang tak kunjung membaik.
“Paparan mikroplastik di alam terbuka sangat besar saat ini – tanpa banyak orang menyadari dampaknya. Artinya kita mungkin menghadapi masalah akibat terjadi perubahan bakteri pat ogen yang berpotensi benar-benar mengancam kesehatan manusia dan satwa,” kata Grossart.
Yang menarik, percobaan Grossart dan tim ini dilakukan di alam Danau Stechlin, negara bagian Bradenburg, Jerman. Dibanding dengan lingkungan air lain di Asia atau Indonesia, danau ini relatif tampak jauh lebih bersih dan asri. Bagaimana kalau percobaan Grossart dilakukan di, misalnya, Sungai Ciliwung yang sangat tercemar?
“Kalau alamnya sangat kotor maka proses transfer gen bisa lebih cepat lagi terjadi karena dua faktor: pertama karena kandungan mikroplastik lebih tinggi dan kedua dalam lingkungan yang polutif bakteri pat ogen lebih banyak, sebagian bahkan bisa jadi sudah mengandung gen yang resisten antibiotik sejak awalnya,” jelas Grossart melalui surat elektronik.
Dalam beberapa tahun terakhir, desakan untuk kampanye pengurangan konsumsi plastik mulai terdengar. Namun kekuatan industri dan permintaan konsumen yang sangat besar pada plastik dituding menyebabkan kampanye semacam itu tak banyak diindahkan.
Di Indonesia, yang disebut sebagai negara pembuang sampah plastik ke laut terbesar kedua setelah China, aturan pembelian kantong plastik yang sempat berlaku tahun lalu pun gagal tanpa kejelasan.
Seperti inisiatif perubahan iklim yang kemudian digerakkan dengan komando PBB dan protokol global, sebagian ilmuwan mengusulkan agar berhasil aturan konsumsi plastik juga perlu dibuat melalui konvensi internasional.

Share

  • Naskah: Dewi Safitri

  • Editor: Vetriciawizach Simbolon

  • Grafis: Fajrian, Timothy Loen, Asfahan Yahsyi

  • Aset grafis: iStock

  • Tata letak: Fajrian, Muhammad Ali

  • Grafis diolah dari sumber: NOAA/Woods Hole Sea Grant, Jurnal Export of Plastic Debris by Rivers into The Sea (2017), Grid Arendal, Unenvironment, Green Peace, Myplasticfreelife.com, Fashion Institute of Technology, How Stuff Works, Eco Watch

Artikel Sebelumnya

Pijar - Dunia Dalam Berita Palsu
Pijar - Dunia Dalam Berita Palsu
Pijar - Sungut Maut Nyamuk Aedes
Pijar - Sungut Maut Nyamuk Aedes
Kembali ke CNNIndonesia.com
Back to top