Jakarta, CNN Indonesia -- Business Software Alliance (BSA) mengungkapkan 83 persen perusahaan di Indonesia menggunakan
software bajakan atau ilegal. Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penggunaan
software bajakan di level perusahaaan di kawasan se-Asia Tenggara bahkan Asia Pasifik.
Padahal menurut BSA, penggunaan
software bajakan bisa membuat kerentanan perusahaan atas serangan
malware naik 29 persen. Apalagi saat ini menurut Tarun Sawney, Senior Director BSA, di dunia tiap 8 detik ada satu
malware baru yang lahir.
"Tingkat penggunaan software (ilegal) di kalangan perusahaan saat ini sangat tinggi [...] dan itu dapat menimbulkan sejumlah risiko bagi masyarakat, komunitas bisnis, dan keamanan nasional," kata Sawney, Senior Director BSA untuk wilayah Asia kepada awak media di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (24/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut dalam laporannya BSA menyebut kerugian yang ditimbulkan akibat serangan
malware ini bisa mencapai US$359 miliar per tahun (sekitar Rp5 kuadriliun; US$1=Rp14,047.30).
Negara-negara di kawasan ASEAN rata-rata turun tipis terkait penurunan penggunaan
software ilegal. Berdasarkan survey BSA '
2018 Global Software Survey', Indonesia penggunaan
software bajakan pada perusahaan Indonesia hanya turun satu persen dari 2017 ke 2015. Pada 2015, penggunaan
software bajakan di Indonesia mencapai 84 persen dan turun jadi 83 persen pada 2017.
Malaysia pun turun tipis dari 53 persen di 2015 ke 51 persen pada 2017. Singapura turun dari 30 persen ke 27 persen. Sementara itu, Thailand turun dari 69 persen ke 66 persen. Vietnam turun dari 78 persen ke 74 persen. Filipina turun dari 67 persen ke 64 persen. Secara keseluruhan, total penggunaan
software bajakan di Asia Pasifik turun dari 61 persen ke 57 persen.
Sehigga, dibanding negara-negara Asia Tenggara lain, Indonesia menempati posisi paling tinggi terkait angka penggunaan
software bajakan. Disusul oleh Vietnam dan Filipina.
Padahal, Sawney mengatakan penggunaan
software bajakan erat kaitannya dengan serangan
malware. Pasalnya apabila perusahaan menggunakan
software berlisensi, pengembang
software akan memberi informasi terkait serangan
malware serta mengirimkan tambalan atau
patches ketika
software ternyata memiliki kerentanan
malware.
Direktur Teknologi Informasi, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Sarno Wijaya menyatakan bahwa kegagalan dalam menekan tingkat penggunaan
software ilegal akan memicu penyebaran
malware. Sebab, menurutnya software bajakan yang tidak mendapat pembaruan bakal menjadi celah atas serangan
malware.
BSA Global Software Survey yang dilakukan bersama IDC memiliki responden berjumlah 23 ribu orang yang terdiri dari karyawan perusahaan, CIO, serta konsumen di 110 negara di dunia.
(eks/eks)