Peneliti Petir dan Atmosfer BMKG, Deni Septiadi mengatakan fenomena awan Arcus berbahaya bagi dunia penerbangan. Dia mengimbau pesawat untuk menghindari awan tersebut agar tidak mengalami masalah.
"Awan tersebut perlu kita hindari terutama untuk keperluan take off maupun landing bagi pesawat terbang," ujar Deni kepada CNNIndonesia.com, Selasa (11/8).
Deni menuturkan pesawat yang menerjang awan Arcus saat hendak mendarat atau lepas landas bisa mengalami turbulensi yang kuat. Bahkan, dia mengatakan pesawat itu berpotensi tersambar petir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab, dia menyebut awan Arcus yang merupakan jenis awan Cumuliform memiliki ciri pertumbuhan yang cepat, serta dapat menghasilkan angin puting beliung, petir, hujan ekstrem, hingga hujan es.
"Tipikal Cumuliform merupakan awan dengan pertumbuhan yang cepat," ujarnya.
Meski berbahaya, Deni menyampaikan pesawat Boeing maupun Airbus sudah tidak menggunakan bahan metal, tapi komposit dan memiliki static discharge yang terpasang di moncong, sayap, serta ekor.
"Tapi tetap waspada saja apalagi petir itu ada yang disebut sebagai CG cloud 2 ground (petir awan ke tanah), IC Intra cloud (di dalam awan), CC cloud 2 cloud (awan ke awan). Radius jangkau CG bisa dari puncak awan ke permukaan (sekitar 10 km). Jadi tetap harus waspada," ujar Deni.
Deni menerangkan awan Arcus berada pada ketinggian rendah sekitar 2 kilometer dari daratan. Awan itu, kata dia merupakan jenis aksesoris dari awan Cumulonimbus (Cb).
Deni berkata perbedaan awan Arcus dengan awan Cumulonimbus terletak pada bentuknya. Awan Arcus tumbuh melebar dan ketinggiannya hanya sekitar 2 km. Sedangkan Cumulonimbus adalah awan vertikal yang padat dan menjulang.
Lebih dari itu, Deni juga menyampaikan awan Arcus terdiri dari dua jenis, yakni shelf cloud yang bentuknya melekat pada awan Cumulonimbus dan roll cloud yang terpisah dari awan badainya. Adapun yang terjadi di Aceh, kata dia adalah awan Arcus berjenis shelf cloud.
![]() |