Uji klinis vaksin corona China di Indonesia juga menimbulkan sejumlah efek samping bagi relawan. Namun, hal ini tak sampai menimbulkan penundaan uji klinis seperti kasus vaksin Covid-19 AstraZeneca dan Oxford.
Sebelumnya, AstraZeneca menghentikan sementara atau menunda uji klinis vaksin Covid-19 di seluruh dunia karena memicu penyakit aneh.
Vaksin hasil kolaborasi dengan Universitas Oxford ini ditunda karena sukarelawan melaporkan efek samping berupa penyakit yang belum dapat dijelaskan oleh ilmuwan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Vaksin Covid-19 buatan perusahaan China, Sinovac Biotech juga menimbulkan efek samping setelah diuji klinis tahap III di Bandung. Efek samping itu ada lokal dan sistemik. Efek samping lokal menyebabkan pembengkakan pada area kulit yang disuntik vaksin.
"Efek samping yang kita ketahui ada lokal dan sistemik. Kalau (efek) lokal, dilihat ada bengkak atau tidak, kalau ada bengkak berapa centimeter bengkaknya. Kalau merah kaya apa merahnya," kata Ketua Tim Riset Vaksin dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Kusnandi Rusmil dalam konferensi pers di Bandung beberapa waktu lalu (11/8).
Kusnandi menjelaskan pihaknya akan mengawasi secara terus-menerus terkait pembengkakan ini. Pihaknya akan melihat apakah bengkak dan kemerahan itu akan langsung hilang setelah disuntik atau tidak.
"Reaksi lokalnya kita lihat apakah kemerahan atau bengkak, lalu diukur dan dilihat. Setelah diukur bengkaknya itu enggak terlalu bengkak dan dalam. Kalau dalam beberapa jam (bekas suntikan) hilang berarti tidak apa-apa, jadi seperti kita nyuntik pada bayi saja," katanya.
Sedangkan efek sistemik akan membuat sukarelawan mengalami perubahan suhu tubuh. Relawan wajib melaporkan kepada tim penanganan jika mengalami reaksi yang dianggap tidak wajar.
Di sisi lain, seorang relawan vaksin Fadly Barjadi Kusuma mengaku merasakan kantuk setelah menerima penyuntikan yang kedua. Namun ia juga tak yakin jika rasa kantuk itu disebabkan karena vaksin.
Menanggapi itu, Kusnandi berpendapat rasa kantuk yang dirasakan oleh relawan uji klinis vaksin Covid-19 kemungkinan bukan berasal dari efek vaksinasi.
"Saya enggak tahu yang ngantuk itu dapat plasebo atau vaksin, kan bisa saja (seperti) saya sering ngantuk (walau tidak divaksin). Makanya saya tidak bisa bilang itu efek daripada vaksin," ucap Kusnandi.
Dalam uji klinis ini relawan tidak diberitahu apakah mendapat cairan vaksin yang sedang diuji klinis atau hanya plasebo sebagai alat kontrol. Sebab, pembagian vaksin atau plasebo di antara para relawan dilakukan secara acak dan rahasia.
Lebih lanjut, Kusnandi mengatakan hingga saat ini belum ada relawan yang mengalami efek samping pasca penyuntikan vaksin.
"Selama ini belum ditemukan. Kan kita telepon semua relawannya sampai sekarang belum ada yang menyampaikan apakah sebadan merah atau bahkan sampai pingsan," ujarnya.
Untuk pelaksanaan uji klinis vaksin di Bandung dibutuhkan sekitar 1.620 relawan dengan rentang usia antara 18 hingga 59 tahun. Selain berdomisili di Bandung, calon relawan juga harus dinyatakan lolos verifikasi kesehatan fisik dan tidak terpapar Covid-19.
![]() |
AstraZeneca tidak mengungkap secara reaksi efek samping yang terjadi pada sukarelawan uji klinis vaksin yang bernama AZD1222 itu.
"Sebagai bagian dari pelaksanaan uji coba global secara acak dan terkendali dari vaksin Oxford, berdasarkan standar proses kami, (maka kami) melakukan penundaan vaksinasi untuk melakukan peninjauan data keamanan (vaksin)," seperti tertulis dalam pernyataan resmi AstraZeneca kepada CNN, seperti dikutip Selasa (8/9).
Namun, sumber Business Insider yang mengetahui masalah ini menyebut kemungkinan peserta uji coba itu akan kembali pulih. Sumber itu menyebut langkah penundaan ini dilakukan sebagai langkah pencegahan perihal keamanan vaksin bagi tubuh manusia.
Sumber kedua menyebut penghentian sementara ini diperkirakan akan memengaruhi jadwal uji klinis vaksin tersebut. Bahkan kemungkinan akan memengaruhi juga uji vaksin dari pabrik lainnya.
"Ini adalah tindakan rutin yang harus dilakukan...sementara kami melakukan penyelidikan. (Hal ini dilakukan) jika muncul potensi penyakit yang tidak dapat dijelaskan dalam pengujian. Sehingga kami bisa memastikan keamanan uji klinis," tambah pernyataan itu.
AstraZeneca menjelaskan dibutuhkan peninjauan secara independen untuk memeriksa munculnya penyakit yang timbul akibat efek samping dari tubuh.
"Dalam uji coba skala besar, ada probabilitas muncul penyakit, tapi hal ini harus ditinjau secara independen untuk memeriksanya dengan cermat. Kami berupaya mempercepat peninjauan satu kasus ini, untuk mengurangi dampak pada jadwal uji coba. Kami berkomitmen terhadap keselamatan peserta kami dan standar yang tinggi dalam pencobaan kami," kata AstraZeneca.
(jnp/eks)