Ilmuwan: Nyamuk Aedes Aegypti Aktif Malam Hari, DBD Meningkat

CNN Indonesia
Jumat, 23 Okt 2020 09:17 WIB
Peneliti ungkap nyamuk Aedes Aegypti yang biasanya terbang dan menggigit pada pagi dan sore hari, kini lebih aktif pada malam hari.
Ilustrasi Nyamuk Aedes Aegypti. (AFP PHOTO/LUIS ROBAYO)
Jakarta, CNN Indonesia --

Penelitian dari Universitas Notre Dame menyatakan polusi cahaya telah mengubah kebiasaan waktu menggigit nyamuk Aedes Aegypti. Peneliti mengatakan Aedes Aegypti yang biasanya terbang dan menggigit pada pagi dan sore hari menjadi lebih aktif pada malam hari.

Peningkatan perilaku Aedes Aegypti pada malam hari akibat polusi cahaya dapat berdampak pada peningkatan penularan penyakit, seperti demam berdarah, demam kuning, chikungunya, dan Zika.

Melansir Science Daily, Aedes Aegypti berevolusi bersama manusia. Sehingga nyamuk itu lebih memilih menggigit manusia daripada hewan seperti spesies nyamuk lain yang muncul dari hutan. Itulah mengapa peningkatan aktivitas mereka mengancam kesehatan masyarakat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini berpotensi menjadi masalah yang sangat valid yang tidak boleh diabaikan. Mereka tinggal dan berkembang biak di sekitar rumah, sehingga kemungkinan Aedes Aegypti terpapar polusi cahaya sangat mungkin terjadi," kata Giles Duffield, peneliti Departemen Ilmu Biologi Universitas Notre Dame.

Dalam mengidentifikasi dampak polusi cahaya terhadap kebiasaan hidup Aedes Aegypti, peneliti  staf ilmuwan di Departemen Ilmu Biologi dan penulis pertama studi tersebut, Samuel SC Rund mengizinkan nyamuk di dalam sangkar untuk menggigit lengannya dalam kondisi terkendali.

Dia melakukannya pada siang hari, malam hari tanpa cahaya buatan, dan malam hari dengan tambahan cahaya buatan.

Hasilnya, nyamuk yang menggigit diidentifikasi sebagai nyamuk betina dan diamati dua kali lebih mungkin untuk menggigit pada malam hari ketika cahaya buatan hadir. Secara keseluruhan, sekitar 29 persen nyamuk pada kelompok kontrol tanpa penerangan makan pada malam hari tanpa cahaya buatan.

Sementara 59 persen tampak menghisap darah pada saat terpapar cahaya buatan.

Melansir Science Times, peneliti berharap penemuan itu akan membantu ahli epidemiologi agar lebih memahami resiko sebenarnya dari penularan penyakit oleh spesies nyamuk ini. Penemuan itu juga dapat menghasilkan lebih banyak rekomendasi untuk penggunaan kelambu.

Sebab, kelambu biasanya digunakan pada malam hari untuk menangkal gigitan dari genus nyamuk yang berbeda, Anopheles. Tetapi, karena Aedes Aegypti terbukti distimulasi oleh cahaya buatan, kelambu juga dapat digunakan di daerah dengan kemungkinan penularan penyakit, bahkan dengan aktivitas Anopheles terbatas.

"Dampak dari penelitian ini bisa sangat besar. Ahli epidemiologi mungkin ingin mempertimbangkan polusi cahaya saat memprediksi tingkat infeksi," kata Duffield.

Duffield dan koleganya berencana untuk bereksperimen dengan variabel tambahan cahaya buatan untuk mempelajari lebih lanjut aktivitas menggigit Aedes Aegypti. Variabel-variabel ini termasuk durasi cahaya, intensitas, warna, serta waktu menggigit, baik di awal malam atau setelahnya.

Tim peneliti juga tertarik pada jalur genetik molekuler yang mungkin terlibat dengan aktivitas menggigit, setelah memperhatikan bahwa tidak semua nyamuk dalam populasi yang diteliti tertarik untuk menggigit di malam hari bahkan dengan cahaya buatan.

"Jadi, kami pikir ada komponen genetik dalam spesies Aedes Aegypti," kata Duffield.

(jps/dal)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER