Para peneliti mengklaim telah mendokumentasikan simpanse liar yang menderita untuk pertama kalinya. Para peneliti meyakini bahwa simpanse itu tidak tertular kusta dari manusia.
Para peneliti belum mengetahui dari mana sumber penyakit itu. Namun mereka telah melaporkan hal itu dalam jurnal pra-cetak di bioRxiv dan belum ditinjau sejawat.
Wabah kusta telah melanda setidaknya dua populasi liar simpanse (Pan troglodytes verus) di Taman Nasional Cantanhez Guinea-Bissau dan Taman Nasional Taï di Pantai Gading. Kusta yang diderita oleh simpanse itu sama dengan kusta yang ditemukan pada manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyakit ini ditemukan setelah peneliti menggunakan perangkap kamera yang tersebar di sekitar taman nasional. Dari hasil rekaman, tim menangkap gambar setidaknya empat simpanse dengan lesi dan cacat pada wajah, telinga, tangan, dan kaki.
Melansir Ifl Science, untuk memastikan diagnosis, tim peneliti juga mengumpulkan sampel kotoran dan mendeteksi keberadaan bakteri penyebab kusta, Mycobacterium leprae.
Mereka juga mendeteksi bakteri dalam sampel nekropsi yang diambil dari betina dewasa bernama Zora yang dibunuh oleh macan tutul pada 2009.
Selama ini, Kusta dianggap hanya menginfeksi manusia. Kini, penyakit itu diketahui juga menyerang spesies liar lainnya, seperti tupai dan armadillo. Sementara kusta pada simpanse merupakan temuan terdokumentasi yang pertama kali.
Melansir Biorxiv, para peneliti menjelaskan kusta merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen Mycobacterium leprae. Skrining PCR pada sampel feses Simpanse yang dikumpulkan dari tahun 2009 menunjukkan bahwa DNA M. leprae terdapat pada semua sampel yang dikumpulkan sejak Juni 2018.
Karena simpanse sering berburu, peneliti menduga penularan mungkin berasal dari mangsa mamalia. Simpanse diketahui memangsa mangsa mamalia lain seperti ungulata.
Analisis genetik dari bakteri yang diperoleh dari sampel kotoran menghasilkan beberapa poin menarik. Pertama, pengamatan di dua lokasi berbeda ternyata menghasilkan dua strain berbeda, yang mengindikasikan wabah muncul secara terpisah.
Kedua, genotipe dari strain bakteri yang bertanggung jawab atas kedua wabah tersebut sangat langka pada manusia, menunjukkan bahwa kemungkinan wabah tidak berasal dari kontak dengan manusia.
Lebih lanjut, kusta umumnya menyebar melalui kontak jarak dekat yang lama dengan orang yang terinfeksi. Simpanse liar ini jarang sekali melakukan kontak dengan manusia selain para peneliti yang mempelajarinya.
Lihat juga:Mengenal Ebola yang Kembali Mewabah di Kongo |
Khususnya, tidak ada peneliti yang terlibat dalam penelitian simpanse yang pernah didiagnosis menderita kusta. Mereka juga mengikuti langkah-langkah kebersihan yang ketat, seperti menjaga jarak 7 meter (23 kaki) dan memakai masker untuk mengurangi risiko penyakit menular dari manusia ke primata.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana simpanse bisa terinfeksi penyakit tersebut? Para peneliti tidak yakin, tetapi mereka menduga itu berasal dari hewan atau sumber lingkungan yang tidak diketahui.
"Sayangnya, kami tidak tahu, tapi kami sedang menyelidiki ini sekarang. Pengambilan sampel sampel lingkungan, menangkap hewan pengerat, dan lain-lain, " kata Fbian Leendertz, penulis studi dan peneliti patogen zoonosis di Robert Koch Institute.
(jps/eks)