Ahli menyebut vaksin nusantara bukan hasil inovasi karya anak bangsa, melainkan hasil penelitian asing dan menggunakan bahan produksi yang juga diimpor dari luar negeri.
Hal ini diungkap Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo menanggapi dukungan terhadap vaksin nusantara yang dianggap sebagai produk inovasi anak bangsa.
"(Vaksin Nusantara) bukan inovasi anak bangsa. Inovasinya berasal dari Amerika oleh peneliti Amerika dari perusahaan biotek komersil di Amerika," tulisnya dalam cuitan, Kamis (15/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, pada rapat Komisi IX DPR RI beberapa anggota dewan mendesak pemerintah mendukung vaksin ini dengan alasan buatan anak negeri. Padahal BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) menilai proses uji klinis dan pembuatan vaksin ini masih belum memenuhi standar saintifik dan keamaan.
Anggota Komisi IX pun ramai-ramai menuding pemerintah dan BPOM memudahkan proses vaksin impor, sedangkan mempersulit vaksin dalam negeri.
Ahmad juga menyayangkan tindakan tim pengembang vaksin nusantara Dr Terawan yang tidak menceritakan keutuhan teknologi sel dendrintik yang digunakan untuk membuat vaksin nusantara. Selain itu pelabelan 'nusantara' pada vaksin ini menurut Ahmad tidak akurat.
Lebih lanjut, Ahmad menilai lebih baik memprioritaskan penelitian vaksin merah putih lantaran keterbatasan dana yang digunakan untuk penelitian vaksin.
"Dana republik terbatas...maka prioritaskan pendanaan vaksin merah putih," tutupnya.
Kepala BPOM Penny K. Lukito menyebut semua komponen utama yang digunakan dalam pengembangan Vaksin Nusantara diimpor dari Amerika Serikat.
Komponen yang dimaksud berupa antigen, Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), medium pembuatan sel, dan alat-alat persiapan.
Di sisi lain, Ahmad menuturkan bahwa metode dendrintik juga membutuhkan biaya yang mahal.
"Penggunaan sel dendrit yang dikultur di laboratorium membutuhkan fasilitas mahal," jelas Ahmad lagi dalam cuitannya.
Sebelumnya, Ahmad juga sempat mengatakan vaksin dengan metode dendritik terbilang sangat mahal. Menurutnya, untuk satu orang pasien yang diobati dengan metode tersebut bisa mencapai Rp1 miliar. Mahalnya metode sel dendritik terkait dengan prosesnya yang terbilang rumit.
Di sisi lain, BPOM menegaskan vaksin yang diprakarsai oleh mantan menteri kesehatan Terawan Agus Putranto itu membutuhkan waktu cukup lama jika ingin dibuat secara sepenuhnya di Indonesia alias tanpa impor komponen lagi.
Lukito juga menyoroti klaim vaksin anak bangsa dalam pembuatannya, namun ada beberapa kejanggalan dalam prosesnya. Penny membeberkan tim peneliti vaksin nusantara didominasi orang asing.
Ia juga menyoroti komponen pembuatan vaksin sel dendritik yang kebanyakan didapat dari komponen impor yang harganya mahal.
Penny menjelaskan, tim peneliti asing itu merupakan anggota dari pihak sponsor AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat. Ia juga mengungkapkan bahwa tim peneliti Universitas Diponegoro dan RSUP dr. Kariadi Semarang tak banyak andil dalam proses uji klinis I vaksin nusantara ini.
Pengembangan dan uji klinis vaksin Nusantara sendiri merupakan kerjasama antara PT Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma) bersama AIVITA Biomedical asal USA, Universitas Diponegoro, dan RSUP dr. Kariadi Semarang.