Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo menyoroti model vaksin nusantara yang dinilai tidak cocok untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 massal. Metode sel dendritik yang bersifat individual itu menurutnya bakal memperlambat proses vaksinasi.
Windhu menyebut pemodelan itu lantas berpotensi membuat molornya target capaian herd immunity atau kekebalan kelompok terhadap virus corona, bila vaksin yang digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu digunakan nantinya.
"Kalau vaksin nusantara menggunakan sel dendritik lebih rumit dan tidak bisa dilakukan secara massal dan lebih kepada perlindungan individu, sehingga dampaknya ya lebih lama menuju herd immunity," kata Windhu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (19/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab berdasarkan cara kerjanya, vaksin itu nantinya akan mencari dari sel dendritik autolog atau komponen dari sel darah putih, yang kemudian dipaparkan dengan antigen dari Sars-Cov-2.
Nantinya, setiap orang akan diambil sampel darahnya untuk kemudian dipaparkan dengan kit vaksin yang dibentuk dari sel dendritik. Kemudian sel yang telah mengenal antigen akan diinkubasi selama 3-7 hari. Hasilnya akan diinjeksikan ke dalam tubuh kembali.
Di dalam tubuh, sel dendritik tersebut akan memicu sel-sel imun lain untuk membentuk sistem pertahanan memori terhadap Sars Cov-2.
Dengan cara kerja itu, Windhu pun menilai vaksinasi massal sulit dilakukan. Selain proses vaksinasi yang memakan waktu cukup lama, sifatnya yang individual dikhawatirkan membuat sampel dendritik setiap orang rawan tertukar.
"Sulit untuk dilakukan secara massal. Karena kalau sel dendritik milik individu A lalu ada kelalaian kemudian dimasukkan ke tubuh individu yang lain, maka bisa terjadi masalah," jelasnya.
Tak hanya menyoroti sisi kelemahan vaksin nusantara, Windhu pun menilai proses ilmiah vaksin ini kurang publikasi.
Meski Windhu mengaku telah mengetahui gagasan vaksin metode sel dendritik sedari Oktober 2020 lalu, namun ia meminta seharusnya tim uji klinis secara gamblang melaporkan dan mempublikasikan sedari pra klinik hingga perampungan uji klinis fase I.
Apalagi setelah tim vaksin nusantara mengklaim daya tahan antibodi mampu bertahan seumur hidup. Maka dengan transparansi, Windhu menilai upaya itu akan mengurangi pertanyaan dan keraguan publik terhadap hasil keamanan vaksin karya anak bangsa tersebut.
"Dan yang penting kita jangan sampai melakukan over claim, dan semua harus transparan. Tidak harus secara publik kalau mau, tetapi tetap ke kalangan ilmuwan publikasinya dijalankan," kata Windhu.
Kendati demikian, Windhu tetap mengapresiasi upaya tim vaksin nusantara yang telah berupaya menciptakan sebuah vaksin karya anak bangsa sebagai salah satu upaya menekan laju penyebaran virus corona.
Ia pun mengingatkan publik untuk tidak perlu khawatir perihal nasib vaksin nusantara ke depannya. Karena negara memiliki Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang bakal melakukan inspeksi dan evaluasi untuk kemudian menentukan vaksin tersebut layak digunakan atau tidak.
"Kalau memang BPOM kemudian meloloskan sampai uji klinis fase III, ya bagus kita harus apresiasi, hitung-hitung tambah stok persediaan vaksin," pungkas Windhu.
Vaksin nusantara dilaporkan telah rampung melakukan uji klinis fase I yang menyasar 30 relawan. Pengembangan dan uji klinis vaksin itu merupakan kerjasama antara PT Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma) bersama AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat, Universitas Diponegoro (Undip), dan RSUP dr. Kariadi Semarang.
Tim Uji Klinis pun menargetkan vaksin nusantara dapat diproduksi secara massal mulai Juni 2021. Namun kondisi itu hanya dapat tercapai bila Badan Pengawas Obat dan Keamanan (BPOM) memberikan lampu hijau untuk Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis II dan III dalam sebulan hingga dua bulan ke depan.