Jakarta, CNN Indonesia --
Istilah Covid-22 menjadi sorotan lantaran diperkirakan akan lebih berbahaya dari varian Delta yang saat ini mendominasi penularan di seluruh dunia.
Penamaan ini pertama kali dilontarkan oleh ilmuwan yang berbasis di Zurich, Swiss, Profesor Imunologi dari Universitas ETH, Sai Reddy.
Reddy berkomentar soal fase pandemi berikutnya pada 2022 yang kemungkinan akan menghadirkan varian yang lebih berbahaya akibat mutasi varian virus corona dan menyebutnya sebagai Covid-22.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, sejumlah ahli mengkritik penamaan yang disebutkan Reddy lantaran tidak sesuai dengan kaidah resmi dan tidak didukung penelitian.
Bukan penyakit baru
William Schaffner, MD, spesialis penyakit menular dan profesor dari Universitas Vanderbilt, menyebut kemungkinan yang terjadi di 2022 adalah muncul varian baru Covid-19, bukan Covid-22.
"Semua varian (dengan) galur yang mirip tetapi punya sedikit berbeda dari (virus corona) COVID-19 asli (akan) diberi nama dari alfabet Yunani," jelasnya.
"Sehingga, jika ada varian baru yang muncul pada 2022, kemungkinan akan diberi nama dengan (kelanjutan) huruf Yunani, bukan Covid-22."
Saat ini, berbagai varian mutasi virus corona yang muncul memang diberi nama dengan huruf Yunani, mulai Alfa, Beta, Gamma, Delta, hingga Lambda.
Covid-22 akan mendapat penamaan baru jika mutasi virus corona SARS-CoV-2 benar-benar sudah berbeda dari versi asli Covid-19.
Meski demikian, mutasi virus ini pun mesti membuat virus itu masih dalam kategori keluarga virus corona, seperti dijelaskan Martin J. Blaser, profesor kedokteran, patologi, dan laboratorium kedokteran di Institut Kedokteran Rutgers Robert Wood Johnson, seperti dilaporkan inews.
Tidak sesuai kaidah
Penamaan suatu penyakit biasanya lewat kesepakatan bersama yang diumumkan oleh WHO.
Sebagai contoh, penamaan virus corona SARS-CoV-2 dilakukan berdasarkan struktur genetik virus. Penamaan ini dilakukan oleh Komite Internasional Taksonomi Virus (ICTV).
WHO lantas mengumumkan nama penyakit akibat infeksi virus corona SARS-CoV-2 sebagai Covid-19 berdasarkan pedoman Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dan Badan Pangan Dunia (FAO).
Penamaan Covid-19 sendiri merupakan sebuah singkatan, seperti dijelaskan Thomas Russo, MD, profesor dan Kepala Penyakit Menular di Universitas Buffalo, New York, AS.
"CO untuk corona, VI untuk virus, D untuk penyakit (disease), dan 19 untuk tahun pertama ditemukan," tuturnya seperti dikutip Health.
Sehingga, penamaan Covid-22 tidak sesuai dengan pedoman ini. Prof Reddy pun sudah mengakui kekeliruan penamaan Covid-22 yang bikin panik warga dunia.
Tidak bisa diprediksi
Menurut Dr. Blaser para ahli "tidak bisa memprediksi" apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Saya kira tidak akan ada virus baru yang membawa bencana besar tahun depan atau 10 tahun kemudian," katanya.
"Itu hal yang tidak bisa diketahui. Yang bisa kita prediksi adalah akan ada varian baru COVID-19. Beberapa varian ini mungkin lebih baik atau lebih buruk. Waktu yang akan menjawab."
Covid-22 anggapan yang terlalu dini
Professor Lawrence Young, virologis dari Universitas Warwick pun menyebut perkiraan tersebut masih terlalu dini.
"Covid-22 menakutkan dan sangat spekulatif," tuturnya.
Menurutnya mutasi kombinasi strain dari berbagai varian virus yang ada saat ini sangat kecil kemungkinannya.
Ia pun menyarankan cara terbaik untuk menghentikan virus corona bermutasi menjadi varian-varian baru adalah dengan menghentikan virus menginfeksi manusia dan menekan penularannya.
Sebab, virus ini bisa bermutasi menjadi varian yang lebih ganas ketika memperbanyak diri di sel manusia yang terinfeksi.
[Gambas:Photo CNN]
Belum ada penelitian yang jelas
Terkait keberadaan varian ini belum ada penelitian yang dilakukan, namun istilah Covid-22 yang Reddy gunakan tetap merujuk pada virus corona SARS-CoV-2, yang menjadi penyebab penyakit Covid-19.
Sehingga ia menggunakan istilah Covid-22 yang kemungkinan menyebabkan muncul varian baru SARS-CoV-2 yang lebih berbahaya di tahun 2022 nanti.