Meski spesies ini tersebar di Sumatera, Jawa dan Bali, provinsi Riau adalah rumah bagi sepertiga dari seluruh populasi harimau sumatera. Namun sayangnya populasi harimau sumatera di Riau mulai mengalami penurunan.
Berdasarkan data yang dihimpun WWF, diketahui terdapat penurunan populasi harimau sumatera sebanyak 70 persen dalam seperempat abad terakhir. Pada tahun 2007, diperkirakan hanya tersisa 192 ekor harimau sumatera di provinsi Riau.
Kini populasi harimau sumatera hanya tersisa sekitar 400 ekor di dalam blok-blok hutan dataran rendah, lahan gambut, dan hutan hujan pegunungan. Namun sebagian besar kawasan ini terancam pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan komersial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan menipisnya hutan yang menjadi hunian harimau sumatera, hewan dilindungi itu terpaksa memasuki wilayah yang lebih dekat dengan manusia, hingga menimbulkan konflik.
Konflik itu acap kali berakhir dengan tewasnya harimau yang dibunuh atau ditangkap karena tersesat memasuki daerah pedesaan atau akibat perjumpaan tanpa sengaja dengan manusia.
Harimau Sumatera disebut banyak diburu untuk diambil seluruh bagian tubuhnya, mulai dari kumis, kuku, taring, kulit, hingga dagingnya. Salah satu alasan perburuan itu karena sebagian masyarakat mempercayai bahwa tubuh harimau memiliki kekuatan magis hingga menjadi jimat.
Hal itulah yang mendorong suburnya permintaan harimau di pasar gelap dan berakhir turunnya populasi harimau di Indonesia.
Kebanyakan pemburu menggunakan jerat babi untuk melumpuhkan sang raja rimba. Jerat babi menjadi alat utama berburu lantaran harimau mudah terjerat, memiliki harga yang murah hingga berpeluang besar untuk mendapatkan satwa buruan.
(can/ayp)