Jakarta, CNN Indonesia --
Fenomena laut bercahaya yang memiliki nama lain milky seas, merupakan bagian terkenal dari cerita rakyat maritim. Ratusan kesaksian pelaut soal penampakan fenomena ini tercatat di abad-19.
Tetapi karena sifatnya yang terpencil dan sulit dipahami, mereka sangat sulit untuk dipelajari dan lebih menjadi bagian dari cerita rakyat daripada menjadi bukti sains.
Hal ini diungkap Steven D. Miller, penulis utama studi bioluminesensi dan spesialis observasi satelit di Universitas Colorado. Di masa lalu, fenomena laut bercahaya atau milky sea sering dikaitkan dengan makhluk-makhluk laut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena laut bercahaya atau milky sea pun kerap dikaitkan dengan makhluk mengerikan yang memiliki tinta menyala. Salah satu hewan laut yang sering dikaitkan yakni anglerfish, ikan yang hidup di perairan dalam yang memiliki penerangan menjuntai di depan giginya.
Berseberangan dengan mitos tersebut, hipotesis dari para peneliti menyatakan bahwa lautan bercahaya berasal dari bakteri kecil yang menyala secara serempak.
Pengakuan para pelaut
Penampakan laut bercahaya di sekitar perairan Indonesia bahkan sempat dituliskan seorang nahkoda kapal asal Amerika yang menemukan fenomena itu di lepas pantai Jawa pada 1854. Ia menggambarkan fenomena tersebut sebagai berikut.
"Seluruh tampilan lautan seperti dataran yang tertutup salju. Awan terlihat jarang di langit. Namun langit...tampak hitam seperti badai mengamuk. Pemandangan itu salah satu kemegahan yang mengerikan, laut telah berubah menjadi berwarna fosfor, dan langit yang digantung dalam kegelapan, bintang-bintang padam, tampaknya menunjukkan bahwa semua alam sedang mempersiapkan untuk kebakaran besar terakhir yang dipercaya terjadi untuk memusnahkan dunia material ini," berikut tulisan yang tertera dalam catatan Kapten Kingman dari kapal clipper Amerika Shooting Star, lepas pantai Jawa, Indonesia, 1854.
Charles Darwin, seorang pelaut yang sedang berlayar di dekat Amerika Selatan pernah juga menjadi saksi fenomena langka ini. Dia melihat gelombang air bercahaya saat dia berlayar pada malam yang gelap di atas kapal H.M.S. Beagle. Dia menyebutnya sebagai 'tontonan yang paling indah'.
Dia mengatakan puncak setiap gelombang air itu sangat terang, seperti api yang tengah menyala dan menerangi langit di sepanjang matanya memandang.
Fenomena langka, sulit diteliti
Fenomena laut bercahaya ini merupakan peristiwa langka. Berdasarkan laporan, hanya sekitar dua atau tiga fenomena laut bercahaya yang terjadi per tahun di seluruh dunia. Namun, sebagian besar di perairan barat laut Samudra Hindia dan lepas pantai Indonesia. Dan Indonesia dilaporkan menjadi lokasi yang paling sering terjadi peristiwa milky sea ini.
Para peneliti menjelaskan bahwa fenomena laut bercahaya disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri yang bisa memancarkan cahaya atau ganggang laut di permukaan air.
Selama abad ke-19 terjadi kurang lebih 200 kali penampakan dari fenomena laut bercahaya. Dan baru satu kali melakukan riset pada permukaan air laut yang mengalami fenomena itu yakni pada 1985.
Saat itu, kru kapal mengumpulkan sampel dan menentukan strain bakteri bercahaya yang disebut Vibrio harveyi yang menjajah alga di permukaan air.
Sedangkan dari pengamatan satelit, fenomena itu bisa ditangkap menggunakan sensor Indera Siang-Malam. Sensor satelit itu bisa mendeteksi cahaya di permukaan air laut yang terjadi di samping cahaya dari wilayah daratan.
"Sensor Indera Siang-Malam satelit tidak berhenti memukau dengan kemampuannya mengungkapkan cahaya di kegelapan malam. Layaknya Kapten Ahab di novel Moby-Dick, memburu fenomena permukaan laut bercahaya sudah menjadi perhatian saya selama bertahun-tahun," kata Direktur Institut Gabungan untuk Penelitian di Atmosfer (CIRA), Steve Miller.
[Gambas:Photo CNN]
Mikroorganisme penyebab laut menyala
Fenomena laut menyala akibat mikroorganisme (bioluminesensi) tidak hanya terjadi di laut lepas, tapi bisa juga terjadi di pinggir pantai. Tapi kedua fenomena ini disebabkan oleh dua mikroorganisme yang berbeda.
Kasus bioluminesensi yang terjadi di dekat pantai, disebabkan oleh organisme kecil yang disebut dinoflagellata. Mikroorganisme ini akan berkedip cemerlang ketika terganggu.
Tapi, bakteri bercahaya yang ada di laut bekerja dengan cara yang sama sekali berbeda. Begitu populasi mereka menjadi cukup besar, sekitar 100 juta sel individu per mililiter air, mereka semua mulai bersinar dengan mantap.
Meski demikian, para ahli biologi belum mengenali dengan pasti tentang bakteri ini. Soal apa yang memicu mereka untuk bisa memberikan tampilan cahaya yang masif dan memukau ini pun tetap menjadi misteri. Karena jika bakteri yang tumbuh di alga adalah penyebab utama terjadinya milky seas, maka seharusnya mereka akan terjadi di semua tempat dan dalam waktu yang lama.
Menurut penelitian para ilmuwan, fenomena laut bercahaya yang kuat dan berskala besar membuat satelit yang mengorbit setinggi lima ratus mil dapat melihat lapisan mikroorganisme bersinar di laut.
Hasil temuan satelit
Pada bulan Agustus lalu para peneliti menjelaskan tentang penemuan laut bercahaya di selatan Jawa pada 2019 yang terlihat besar dari gabungan wilayah Vermont, New Hampshire, Massachusetts, Rhode Island, dan Connecticut.
"Itu adalah pencerahan," kata Miller.
Para ilmuwan menyatakan citraan yang dikumpulkan dari Desember 2012 hingga Maret 2021 melalui sepasang satelit memungkinkan mereka mengidentifikasi belasan penemuan besar.
Penemuan yang dilakukan menggunakan citra satelit disebut membuka dunia baru untuk membantu pelacakan dan studi lautan yang bercahaya, yang asal-usulnya belum diketahui.
Peter Herring, seorang ahli biologi kelautan Inggris yang dikenal lewat karyanya tentang bioluminesensi mengatakan bahwa pantauan lewat citra satelit itu dinilai penting, usai berabad-abad ketidakpastian itu meningkatkan prospek untuk mengungkap apa di balik lingkaran bercahaya itu.