Jakarta, CNN Indonesia --
Proses yang terjadi pada jasad manusia yang mati di luar angkasa bakal berbeda dengan jenazah yang mati di Bumi.
Sebab, banyak hal yang bisa mempengaruhi kondisi jasad manusia yang meninggal di luar angkasa. Sehingga, jasad itu bisa bertahan ratusan juta tahun atau bahkan hancur menjadi debu, tergantung dimana jasad itu berada.
Misal, jika jasad mati di Bulan, suhu panas-dingin Bulan yang ekstrim 120 derajat Celcius pada siang hari dan -170 derajat Celcius pada malam hari bisa menghancurkan jasad akibat terlalu panas atau membeku akibat terlalu dingin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal yang berbeda terjadi jika manusia mati di Mars. Kondisi Mars yang serupa padang pasir, kemungkinan akan membuat jaringan lunak manusia yang mati di planet merah itu mengering. Selain itu, tiupan angin dan sedimen di Mars kemungkinan akan merusak kerangka manusia seperti di Bumi.
Proses manusia mati
Saat manusia mati, jasad akan mengalami sejumlah proses yakni livor moritis, algor mortis, dan rigor mortis.
Livor moritis adalah tanda kematian lewat mengendapnya darah yang mengalir di anggota tubuh. Sementara algor mortis terjadi ketika suhu tubuh menurun sehingga tubuh menjadi dingin. Setelah itu terjadi rigor mortis ketika tubuh menjadi kaku akibat otot tubuh mengencang akibat terkumpulnya kalsium di serat otot.
Berikutnya, enzim tubuh berupa protein yang mempercepat reaksi kimia, memecah dinding sel dan melepaskan isinya. Pada saat yang sama, bakteri di usus kita keluar dan menyebar ke seluruh tubuh.
Bakteri ini lantas melahap jaringan lunak dan terjadi proses pembusukan jasad. Mereka juga memicu gas keluar yang menyebabkan tubuh membengkak.
Tubuh yang kaku akibat rigor mortis tak lagi terjadi setelah otot-otot hancur. Akibatnya, muncul bau yang menyengat setelah jaringan lunak ini pecah.
Selain itu, jasad yang mati di Bumi juga akan dibantu diurai oleh organisme hidup lain seperti serangga, mikroba, dan bahkan tanaman.
Tapi, Lingkungan di planet yang berbeda tidak akan memberikan perlakuan penguraian yang sama terhadap tubuh manusia yang mati. Sebab, serangga dan hewan pengurai yang ada di Bumi, tidak ada di planet lain.
Jika jasad manusia berada di dekat bintang atau sumber panas lainnya, jasad tersebut akan perlahan mengering dan akan menjadi mumi secara efektif. Tapi, jika jasad berada dalam bayang-bayang asteroid atau benda dingin lainnya, maka ia akan membeku saat panas perlahan meninggalkan tubuh.
Selain itu, terdapat sejumlah faktor lain yang menyebabkan situasi jasad manusia yang meninggal di luar angkasa bisa berbeda, utamanya terkait dengan faktor eksternal yang jauh berbeda dengan kondisi Bumi.
Sehingga, cara terurainya jasad manusia yang mati di luar angkasa, tidak akan sama seperti ketika ia meninggal di Bumi. Pasalnya, di luar angkasa tidak ada serangga atau hewan pemakan bangkai.
Sebab, proses pembusukan jasad manusia tidak hanya dipicu faktor internal, tapi juga dibantu faktor eksternal. Baik berupa temperatur, aktivitas serangga, proses penguburan dan pembungkusan jasad, hingga penghancur jasad termasuk air atau api.
Gravitasi yang minim atau bahkan tanpa gravitasi di luar angkasa juga akan berdampak pada tahap kematian manusia, utamanya pada proses livor moritis. Sebab, kondisi minim atau tanpa gravitasi akan membuat darah tak bisa mengendap.
Meski demikian, proses rigor mortis atau kekakuan jasad manusia masih akan tetap terjadi, karena ini merupakan efek akibat dari berhentinya fungsi tubuh.
Selain itu, proses pembusukan tubuh akibat bakteri yang keluar dari pencernaan juga akan melambat. Hal ini disebabkan oleh kondisi tanpa oksigen di luar angkasa. Pasalnya, bakteri-bakteri itu butuh oksigen agar bisa berfungsi secara efektif.
Jika tubuh mati di planet yang kering ekstrim juga bisa membuat tubuh manusia yang mati juga bisa bertahan lebih lama karena kekeringan ini mengawetkan jaringan lunak di tubuh manusia. Sebab, proses penghancuran tubuh manusia saat mati di Bumi dibantu oleh mikroba yang ada di tanah.
[Gambas:Photo CNN]
Sementara jika manusia mati di planet dengan kondisi tanah sangat asam, bisa terjadi hal yang berkebalikan yang dari kondisi mati di Bumi. Alih-alih jasad yang mati meninggalkan rangka, Bisa jadi malah rangka manusia hancur terlebih dulu dari jaringan lunaknya. Sehingga, jasad tampak seperti onggokan daging tanpa rangka.
"Tapi saya pikir kemungkinan sisa-sisa jasad manusia akan tetap ada sebab proses pembusukan seperti di Bumi tidak akan terjadi. Tubuh kita akan menjadi "alien" di luar angkasa," jelas Tim Thompson, Profesor Antropologi Biologis dari Universitas Teesside Amerika Serikat, seperti dikutip The Next Web.
"Mungkin kita perlu menemukan bentuk baru dari praktik pemakaman, yang tidak melibatkan kebutuhan energi yang tinggi untuk kremasi atau penggalian kuburan di lingkungan yang keras dan tidak ramah," lanjutnya.
Lembaga antariksa Amerika Serikat (NASA) disebut saat ini tidak memiliki protokol khusus untuk menangani kematian mendadak di stasiun ruang angkasa internasional (ISS).
Namun, pertanyaan ini memang menjadi tanda tanya besar selama bertahun-tahun. Sebab, tak ada yang ingin bersebelahan dengan jasad yang membusuk di dalam pesawat yang sama.
Tubuh pun tak akan dikirim kembali ke Bumi karena kondisi yang tak mungkin. Jenazah juga tak dapat dikremasi karena berpotensi menimbulkan bahaya, sehingga tim dari NASA mempertimbangkan jenazah mendapatkan penguburan ekologis.
Tapi, tak mungkin juga membuang jasad itu begitu saja ke angkasa luar. Sebab, hal ini akan membuat jasad itu menjadi sampah antariksa. Sehingga, berpotensi membuat tabrakan dengan pesawat antariksa lain. Selain itu, aturan PBB juga melarang membuang mayat di luar angkasa.
Sehingga, NASA membuat metode pemakaman lain untuk menangani kejadian ini. Berkolaborasi dengan perusahaan penguburan ekologis Promessa, tim peneliti ini mengusulkan ide Body Back.
Pertama jenazah harus disingkirkan agar tak mengganggu penglihatan dan baunya mengganggu penumpang lain ketika tubuh membusuk. Sehingga, mayat mesti dibungkus dengan tas mayat luar angkasa. Jenazah ini pun tak bisa dikremasi, sebab berbahaya dan ketersediaan oksigen untuk pembakaran terbatas.
Sehingga, jenazah akan dibekukan hingga kering dan digetarkan hingga hancur menjadi abu. Sehingga, abu ini bisa disimpan agar bisa diserahkan pada pihak keluarga atau dijadikan pupuk jika diizinkan oleh pemilik tubuh dan keluarga sebelum mati.
[Gambas:Photo CNN]
Ide tersebut sebenarnya sudah dikembangkan pada 2005 namun baru dimatangkan pada 2013. Pendiri Promessa kemudian mengumumkan bahwa NASA beserta pihak swasta yang tak disebutkan, siap menggunakan rencana penguburan ekologis.
Namun, cara ini mendapat kritik karena sebagian ahli menganggap tubuh manusia tak bisa diatomisasi dengan cara tersebut. Promessa sendiri akhirnya dilikuidasi pada 2015.
Meski demikian, Promessa mengklaim NASA tertarik dengan ide yang mereka ajukan. Caranya, tubuh akan ditaruh dalam tas mayat, dibekukan dengan suhu dingin antariksa dan kemudian digetarkan menggunakan lengan robot hingga berbentuk seperti abu. Bubuk jenazah kemudian bisa disimpan dan dapat dikembalikan kepada pihak keluarga.