Peneliti yang memiliki nama lengkap Carina Citra Dewi Joe ini mengakui ia dan timnya bekerja sangat keras kala mengembangkan vaksin AstraZeneca.
Normalnya sebuah vaksin memerlukan 10 hingga belasan tahun untuk dikembangkan. Sedangkan Carina dan timnya harus mengembangkan vaksin ini secepat mungkin.
Demi segera mewujudkan hal tersebut, Carina dan tim bekerja 7 hari seminggu lebih dari 12 jam per hari selama hampir satu setengah tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Carina mengatakan sumber daya yang terbatas membuatnya tidak memiliki libur, bahkan harus masuk meskipun dalam keadaan sakit.
"Waktunya enggak cukup, tenaga kerja pun kita enggak bisa rekrut karena pandemi," kata Carina.
Kondisi tersebut membuat Carina mengerjakan kebanyakan hal sendiri dan memaksa dirinya untuk menghindari kesalahan sebisa mungkin, karena jadwal yang ketat tidak memberi ruang untuk kesalahan sedikitpun.
"Kalo ada keterlambatan di bagian saya, semuanya akan terlambat, kita tidak bisa memundurkan jadwal ... karena jadwal uji klinis sudah dijadwalkan," ujar Carina.
Carina menjelaskan keberhasilan timnya mengembangkan vaksin Covid-19 dalam waktu singkat dikarenakan semuanya bekerja secara paralel.
Pengembangan vaksin dalam situasi normal melibatkan sejumlah birokrasi yang membuat peneliti harus menunggu persetujuan, ulasan, dan umpan balik untuk berpindah dari satu tahap ke tahap lain.
Status darurat pandemi membuat tahapan-tahapan persetujuan tersebut dihilangkan dan mempersingkat proses yang melibatkan birokrasi.
Perjalanan panjang Carina dan tim dalam mengembangkan vaksin AstraZeneca membuahkan hasil saat vaksin tersebut lulus dari uji klinis ketiga akhir Desember 2020 yang membuat vaksin ini bisa digunakan untuk masyarakat luas.
Selama masa penelitian, keterbatasan sumber daya memberikan beberapa cerita yang mengiringi perjalanan terciptanya vaksin AstraZeneca.
Di satu waktu tim Carina pernah bekerja sama dengan Pall Manufacturing yang berlokasi di Portsmouth, Inggris.
Kala itu keterbatasan sumber daya memaksa manajer proyek dari tim peneliti vaksin untuk mengirim bibit sel dan bibit virus ke laboratorium milik Pall yang berjarak sekitar tiga jam dari laboratorium tempat Carina bekerja.
Manajer proyek dari tim Jenner Institute berangkat bersama dengan sekretarisnya untuk mengantarkan bibit sel dan virus.
Bahkan karena keterbatasan fasilitas, bibit sel dan virus yang harusnya ditempatkan dalam inkubator selama perjalanan hanya disimpan dalam sebuah kotak styrofoam.
Selain mengembangkan skala produksi vaksin, Carina pun menceritakan saat ini timnya tengah mengembangkan metode vaksin yang disebut Intranasal Covid.
Metode pemberian vaksin yang semula dilakukan melalui suntikan di tangan digantikan dengan penyemprotan dosis vaksin ke saluran respirasi atau pernapasan.
Saat ini uji klinis tahap 1 dari metode Intranasal Covid telah diberikan pada 30 orang relawan dengan menyemprotkan dosis vaksin melalui hidung.
Carina mengatakan metode ini meniru proses infeksi Covid-19 yang biasanya melalui rute pernapasan untuk menghasilkan respon imun yang lebih natural.
"Mimicking infeksi natural (dari Covid-19), imun respon yang dihasilkan harusnya lebih natural," jelasnya.
"Sistem imun yg diinduce adalah mikrosel IgA, daripada IgG. Jadi ada perbedaan imun respon yang ditimbulkan kalau beda rutenya," tambahnya.
Carina menjelaskan respons imun pada percobaan ini diharapkan dapat meningkatkan proteksi pada orang yang menerima vaksin.
Selain itu metode ini disebut dapat memberikan gejala efek samping yang sangat ringan dibanding dengan pemberian vaksin lewat suntikan yang kerap menimbulkan efek samping seperti demam, sakit kepala, pegal, dan beberapa gejala lain.
Pemberian vaksin dalam bentuk intranasal yang dikembangkan Carina Joe dan timnya bukan lah yang pertama kali. Sebelumnya metode ini telah digunakan untuk vaksin flu dan semprotan untuk alergi.
(lnn/fjr)