MEET THE GEEK

Cerita Peneliti RI Carina Joe Kebut Vaksin AZ: Kerja 7 Hari Seminggu

CNN Indonesia
Senin, 08 Nov 2021 15:29 WIB
Nama Carina Joe ramai dibincangkan publik Indonesia setelah menjadi bagian dari penelitian vaksin Covid-19 AstraZeneca. (Foto: Arsip Foto Pribadi)
Jakarta, CNN Indonesia --

Carina Joe merupakan seorang ilmuwan asal Indonesia yang tergabung dalam tim pengembangan vaksin Covid-19 Oxford AstraZeneca.

Vaksin yang ia kembangkan menjadi salah satu vaksin yang paling banyak digunakan dunia yang telah disetujui oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk didistribusikan ke seluruh dunia dalam meredam dampak buruk pandemi Covid-19.

Nama Carina kembali diperbincangkan media-media tanah air kala ia dan timnya menerima penghargaan Pride of Britain pekan lalu.

Penghargaan Special Recognition diberikan pada tim peneliti Oxford AstraZeneca yang telah membuat vaksin Covid-19 hanya dalam rentang waktu satu tahun saja.

Vaksin Oxford AstraZeneca saat ini tercatat telah didistribusikan ke lebih dari 170 negara di seluruh dunia. Di Inggris sendiri, AstraZeneca diperkirakan telah menyelamatkan lebih dari 100 ribu nyawa.

Setelah berhasil membuat vaksin Oxford AstraZeneca, Carina dan tim fokus untuk meningkatkan kuantitas vaksin agar penyebaran vaksin bisa lebih luas.

"Kita targetnya akhir tahun ini 3 miliar dosis, sekarang sudah hampir 1,7 miliar dosis, sebentar lagi 2 miliar," kata Carina kepada CNNindonesia.com dalam sebuah wawancara khusus, Jumat (5/11).

Setiap negara memiliki hak yang sama atas vaksin Covid-19, sehingga Carina dan timnya membuat strategi untuk memperluas cakupan vaksin yang mereka buat.

"Setiap negara punya hak sama untuk mendapatkan vaksin Covid ini, karena itu kita punya strategi untuk selain meningkatkan skala dari produksi vaksin, kita juga transfer teknologi vaksin ini ke 5 benua. Kita bekerja sama dengan 25 laboratorium di 15 negara," jelas Carina.

Kehadiran fasilitas produksi yang tersebar di berbagai negara ini diharapkan dapat membantu negara-negara di sekitarnya untuk mendapatkan akses kepada vaksin Covid-19 AstraZeneca.

Keberadaan fasilitas produksi vaksin tersebut juga memberi ruang untuk Carina dan timnya dalam mengembangkan proses manufaktur vaksin.

Perjalanan Karier

Ketertarikan Carina pada dunia Bioteknologi dimulai saat ia menginjak bangku SMA. Saat itu guru Biologi di sekolahnya menjelaskan sebuah bidang ilmu baru bernama Bioteknologi.

Guru Carina menjelaskan bahwa bidang ilmu tersebut dapat mengubah genetika ikan monokrom (hitam putih) menjadi berwarna warni. Penjelasan tersebut lantas menjadi awal mula ketertarikan Carina pada bidang ini.

Ketertarikan tersebut kemudian membawa Carina mengambil kuliah jurusan bioteknologi di University of Hongkong.

Setelah itu dia melanjutkan pendidikannya di Royal Melbourne Institue of Technology, Australia sambil magang di The Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) yang merupakan laboratorium terbesar di Australia.

Di laboratorium tersebut Carina tergabung dalam departemen manufaktur skala besar yang memproduksi produk-produk biologi seperti monoklonal antibodi, therapeutic protein, vaksin, dan lain-lain.

Latar belakang manufaktur skala besar kemudian membuatnya diterima di tim peneliti Jenner Institute, Oxford.

Awalnya Carina tergabung dalam tim peneliti vaksin rabies, beberapa bulan sebelum pandemi Covid-19 menyerang seluruh dunia.

Kemudian awal Januari 2020, atasan Carina yang sekaligus ketua tim manufaktur vaksin Oxford AstraZeneca, Dr. Sandy Douglas mencetuskan ide untuk mengembangkan vaksin Covid-19.

"Mungkin ini berbahaya dan kita harus mengantisipasinya dengan merancang vaksin Covid," kata Carina menirukan perkataan bosnya itu.

Carina Joe dan tim saat mendapat penghargaan Pride of Britain (Foto: Arsip Foto Pribadi)

Peran Carina di Penelitian AstraZeneca

Pada proyek pengembangan vaksin Oxford AstraZeneca, Carina tergabung dalam tim manufaktur vaksin, salah satu tugasnya adalah untuk menganalisis data dan memberikannya pada kolaborator-kolaborator.

Dalam tim ini Carina berkontribusi menemukan 'formula 30 mililiter sel' yang dapat menghasilkan vaksin lebih dari satu miliar dosis.

AstraZeneca merupakan vaksin untuk penyakit Covid-19 yang dikembangkan dengan metode viral vector.

Dilansir dari CDC, metode pembuatan vaksin ini menggunakan versi modifikasi dari virus berbeda (sebuah virus vektor) untuk menyampaikan instruksi khusus ke sel.



Carina mengatakan metode viral vector dipilih karena peneliti di Jenner Institute sudah berpengalaman dengan teknologi tersebut.

Teknologi ini sudah ada sejak 2013 dan telah dilakukan uji klinis pada vaksin untuk penyakit MERS di Timur Tengah. Teknologi tersebut juga digunakan untuk mengembangkan sejumlah vaksin lain, seperti vaksin rabies, Zika, dan Chikungunya.

"Karena kurun waktunya hanya beberapa bulan, kita memutuskan untuk bergerak dengan teknologi yang kita tahu," ujar Carina.

"Kita tidak memikirkan untuk eksplor teknologi yang lain, itu butuh waktu lama," tambahnya.

Data seperti respons imun dan safety profile pada pengembangan vaksin terdahulu juga turut meyakinkan Carina dan tim untuk memilih metode ini.

Simak 'Spoiler' Inovasi AstraZeneca di halaman berikutnya..

Perjuangan di Balik Lahirnya Sang AstraZeneca: Penelitian7 Hari Seminggu, Tetap Kerja Meski Sakit


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :