Jakarta, CNN Indonesia --
Sejumlah teknokrat keturunan India ditunjuk sebagai nakhoda raksasa teknologi berskala dunia. Perusahaan teknologi bergengsi seperti Nokia, IBM, Google dan yang terbaru Twitter tak luput dari kepemimpinan darah India.
Parag Agrawal sebelumnya menjabat sebagai CTO Twitter, kini didapuk menggantikan posisi Jack Dorsey yang memilih mundur dari posisinya sebagai CEO Twitter.
Nama tersebut hanya beberapa dari banyak pemimpin industri teknologi yang berasal dari India. Ini sekaligus menjadi bukti keterampilan warga Asia Timur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini sedikitnya ada 16 nama keturunan India-Amerika yang menjadi pemimpin di perusahaan teknologi dunia. Meskipun di luar itu juga masih ada beberapa nama keturunan India lainnya yang juga memiliki posisi tinggi di perusahaan raksasa teknologi di Amerika Serikat.
Sebut saja, Ajaypal Singh Banga CEO Mastercard, Rajeev Suri CEO Inmarsat perusahaan yang menaungi Nokia serta Rakesh Kapoor seorang pebisnis yang juga CEO Reckitt Benckiser.
Menanggapi banyaknya keturunan India yang berada di pucuk pimpinan, Pakar Teknologi dan Informatika dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung (ITB) Budi Rahadjo menilai hal tersebut merupakan bukti yang sifatnya natural.
Ia mengatakan iklim menimba ilmu di negara eks jajahan Britania Raya itu terbilang baik. Ditambah dengan berbagai fasilitas sekolah untuk menunjang para masyarakat melek teknologi.
"Dari pendidikan yang terkait teknologi informasi (IT) India nomor 1 lah. Di India itu banyak kampus world class university kalau untuk urusan teknolologi," ujar Budi kepada CNNIndonesia.com lewat sambungan telepon, Rabu (1/12) siang.
Praktis, banyak masyarakat India akhirnya terpacu untuk lebih baik karena fasilitas menimba ilmu yang sudah mumpuni.
Meski demikian, usai menimba ilmu di dalam negeri bidang teknologi, banyak para alumninya mengembangkan karier di Amerika Serikat. Dengan demikian, menciptakan relasi yang banyak dengan raksasa teknologi AS yang dilakukan dari generasi ke generasi.
Selain relasi yang terbilang baik, sumber daya manusia asal India juga dilatarbelakangi dengan keilmuan teknologi yang kuat. Hal itu sudah dilakukan sebelum tahun 1990-an.
Di samping ulung di bidang teknologi, kiprah masyarakat India di luar negeri juga tak luput dari fasihnya dalam berbahasa Inggris. Budi menyebut, karya sastra yang dihasilkan oleh orang India yang berbahasa Inggris, tak kalah dengan kemampuan kesusastraan orang Inggris.
Ditambah kemampuan untuk memahami ilmu bidang matematika yang terbilang bagus, ketiga elemen itu disebut Budi menjadi modal untuk menguasai dunia teknologi.
"Kemudian sekolah matematiknya bagus. Ya itulah IT itu logis, matematika, bahasa Inggris, ya sudahlah mereka yang menguasai dunia," tutur Budi.
Meski demikian Budi menilai India tak memiliki ambisi menjadi episentrum teknologi dunia, meskipun kemandirian di segala bidang sudah digalakkan oleh proklamator India, Mahatma Gandhi.
Sekadar Pihak Ketiga
Saat ini India produsen bidang teknologi, meskipun hanya menjadi pihak ketiga dalam proses produksi. Budi menjelaskan di India menjamur perusahaan produsen teknologi, yang memiliki klien perusahaan teknologi AS.
Ia mengatakan sejak era 2000-an, India ingin menjadi negara outsourcing center untuk memproduksi sistem yang dimiliki perusahaan luar. Seperti di Banglore.
"Sistem IT itu desain in US, coding in India. Jadi India itu susah melepaskan diri dari stigma bahwa mereka hanya sekedar outsourcing," pungkasnya.
India punya 'Sillicon Valley', simak di halaman berikutnya..
Lebih lanjut ia menilai negara India sebetulnya saat ini kesal, lantaran mencetak insan ahli di bidang teknologi, namun tak berhasil membuat pusat teknologi di dalam negeri.
Ia berkisah ketika menuntut ilmu di Universitas Manitoba, Kanada pada 1980-an sudah banyak pengajar dan mahasiswa yang ada di kampus tersebut. Ia mengatakan banyak pakar di bidang IT desain yang berasal dari India.
Ia mengatakan masyarakat India memiliki daya saing yang tinggi saat menimba ilmu. Belum lagi di saat lulus, tak banyak lahan pekerjaan di negaranya.
Hal itulah yang membuat para ahli teknologi hijrah ke berbagai negara, untuk mengepakkan sayapnya di bidang teknologi.
Budi mengatakan ia pernah mempekerjakan warga India lulusan S2 di Indonesia, dengan gaji minim yaitu sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR). Namun pekerja itu tak banyak menimbang perkara pendapatan.
Ia mengatakan bahwa pekerja India menjadikan Indonesia sebagai batu loncatan untuk kemudian bisa berkiprah di AS.
"Kenapa mau digaji murah? Ini jadi batu loncatan ke AS, jadi mereka ke Indonesia dulu, baru mereka ke AS. Jadi mereka punya portofolio terus dia loncat ke AS," pungkasnya.
Punya 'Sillicon Valley' Sendiri
Ia juga menggarisbawahi adanya pusat teknologi Bengaluru, yang dahulu bernama Bangalore. Wilayah itu tak ubahnya seperti Silicon Valley yang ada di AS.
Di sanalah menjamur perusahaan teknologi yang menjadi pihak ketiga dalam memproduksi produk teknologi yang dijual oleh raksasa teknologi AS.
Dengan dibangun pusat teknologi itu, Budi menjelaskan bahwa banyak diaspora India akhirnya mudik dan membangun perusahaan di Bengaluru.
"Karena mereka tinggal di Amerika, mereka dapat proyeknya dari Microsoft dikerjain di Bangalore. Jadi memang jejaring India ini besar kalau di bidang IT," tuturnya.
Meski demikian geliat teknologi India sudah dimulai sejak dibangunnya Institut Teknologi India (IIT) pada 1958. Ia menilai para mahasiswa yang menempuh studi di kampus tersebut terbilang susah untuk lulus.
Jika dibandingkan dengan beberapa kampus terkemuka dunia seperti Harvard University. Hal itu lantaran persaingan yang ketat saat seleksi masuk IIT.
"Jadi IIT itu lulusnya lebih susah daripada Harvard, dan sekolah-sekolah di AS. Karena ada miliaran orang yang bersaing untuk masuk ke universitas itu. Jadi screening-nya itu udah pasti bagus lah," pungkas Budi.
Meskipun sederet keturunan India banyak didapuk menjadi CEO, ia ragu kalau individu yang ahli di bidang teknis bisa memimpin perusahaan teknologi.
Ia menyebut menjadi CEO bisanya individu yang ahli di bidang bisnis, bukan yang ahli di bidang teknis. Saat ini polemik tersebut masih diperdebatkan dan masih mengundang pertanyaan.
"Nah ini yang masih jadi pertanyaan memang masih perdebatan kaya CEO di perusahaan dulu itu banyaknya orang MBA, tapi sekarang banyak orang teknis. Sekarang mari kita lihat," ujarnya.
Dihubungi terpisah, Pakar Teknologi Digital dari ICT Institute Heru Sutadi menilai sumber daya manusia dan diaspora di bidang teknologi terutama bidang digital terbilang cukup diakui berbagai negara.
Daya Saing
Sejalan dengan Budi, Heru menilai sumber daya manusia di India memiliki persaingan yang ketat. Hal itulah yang memicu tingginya etos dalam menguasai teknologi digital.
Terlebih banyak figur dari India yang terbilang sukses di bidang teknologi.
"Di India, SDM ketat persaingannya sehingga mereka berusaha kuasai teknologi digital karena banyak role model orang India yang sukses," ujar Heru lewat pesan teks, Rabu (1/12) siang.
Lebih lanjut ia menyayangkan di Indonesia sendiri minimnya figur yang bisa dijadikan pemantik dalam bidang teknologi. Meskipun ada, figur tersebut disebut Heru tak fokus dalam bidang teknologi, melainkan belok ke bidang politik.
"Sayang di Indonesia role model masih langka, dan kalaupun ada role model tidak fokus di teknologi tapi ke politis seperti misal Nadiem Makarim," pungkasnya.
Lebih lanjut Heru menjelaskan faktor figur dan ketatnya persaingan itulah yang membuat ahli teknologi di India menorehkan kesuksesan di bidang teknologi digital.