Lebih lanjut ia menilai negara India sebetulnya saat ini kesal, lantaran mencetak insan ahli di bidang teknologi, namun tak berhasil membuat pusat teknologi di dalam negeri.
Ia berkisah ketika menuntut ilmu di Universitas Manitoba, Kanada pada 1980-an sudah banyak pengajar dan mahasiswa yang ada di kampus tersebut. Ia mengatakan banyak pakar di bidang IT desain yang berasal dari India.
Ia mengatakan masyarakat India memiliki daya saing yang tinggi saat menimba ilmu. Belum lagi di saat lulus, tak banyak lahan pekerjaan di negaranya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itulah yang membuat para ahli teknologi hijrah ke berbagai negara, untuk mengepakkan sayapnya di bidang teknologi.
Budi mengatakan ia pernah mempekerjakan warga India lulusan S2 di Indonesia, dengan gaji minim yaitu sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR). Namun pekerja itu tak banyak menimbang perkara pendapatan.
Ia mengatakan bahwa pekerja India menjadikan Indonesia sebagai batu loncatan untuk kemudian bisa berkiprah di AS.
"Kenapa mau digaji murah? Ini jadi batu loncatan ke AS, jadi mereka ke Indonesia dulu, baru mereka ke AS. Jadi mereka punya portofolio terus dia loncat ke AS," pungkasnya.
Ia juga menggarisbawahi adanya pusat teknologi Bengaluru, yang dahulu bernama Bangalore. Wilayah itu tak ubahnya seperti Silicon Valley yang ada di AS.
Di sanalah menjamur perusahaan teknologi yang menjadi pihak ketiga dalam memproduksi produk teknologi yang dijual oleh raksasa teknologi AS.
Dengan dibangun pusat teknologi itu, Budi menjelaskan bahwa banyak diaspora India akhirnya mudik dan membangun perusahaan di Bengaluru.
"Karena mereka tinggal di Amerika, mereka dapat proyeknya dari Microsoft dikerjain di Bangalore. Jadi memang jejaring India ini besar kalau di bidang IT," tuturnya.
Meski demikian geliat teknologi India sudah dimulai sejak dibangunnya Institut Teknologi India (IIT) pada 1958. Ia menilai para mahasiswa yang menempuh studi di kampus tersebut terbilang susah untuk lulus.
Jika dibandingkan dengan beberapa kampus terkemuka dunia seperti Harvard University. Hal itu lantaran persaingan yang ketat saat seleksi masuk IIT.
"Jadi IIT itu lulusnya lebih susah daripada Harvard, dan sekolah-sekolah di AS. Karena ada miliaran orang yang bersaing untuk masuk ke universitas itu. Jadi screening-nya itu udah pasti bagus lah," pungkas Budi.
Meskipun sederet keturunan India banyak didapuk menjadi CEO, ia ragu kalau individu yang ahli di bidang teknis bisa memimpin perusahaan teknologi.
Ia menyebut menjadi CEO bisanya individu yang ahli di bidang bisnis, bukan yang ahli di bidang teknis. Saat ini polemik tersebut masih diperdebatkan dan masih mengundang pertanyaan.
"Nah ini yang masih jadi pertanyaan memang masih perdebatan kaya CEO di perusahaan dulu itu banyaknya orang MBA, tapi sekarang banyak orang teknis. Sekarang mari kita lihat," ujarnya.
Dihubungi terpisah, Pakar Teknologi Digital dari ICT Institute Heru Sutadi menilai sumber daya manusia dan diaspora di bidang teknologi terutama bidang digital terbilang cukup diakui berbagai negara.
Sejalan dengan Budi, Heru menilai sumber daya manusia di India memiliki persaingan yang ketat. Hal itulah yang memicu tingginya etos dalam menguasai teknologi digital.
Terlebih banyak figur dari India yang terbilang sukses di bidang teknologi.
"Di India, SDM ketat persaingannya sehingga mereka berusaha kuasai teknologi digital karena banyak role model orang India yang sukses," ujar Heru lewat pesan teks, Rabu (1/12) siang.
Lebih lanjut ia menyayangkan di Indonesia sendiri minimnya figur yang bisa dijadikan pemantik dalam bidang teknologi. Meskipun ada, figur tersebut disebut Heru tak fokus dalam bidang teknologi, melainkan belok ke bidang politik.
"Sayang di Indonesia role model masih langka, dan kalaupun ada role model tidak fokus di teknologi tapi ke politis seperti misal Nadiem Makarim," pungkasnya.
Lebih lanjut Heru menjelaskan faktor figur dan ketatnya persaingan itulah yang membuat ahli teknologi di India menorehkan kesuksesan di bidang teknologi digital.
(can/fjr)