Penggunaan teknologi pengenalan wajah atau face recognition oleh penegak hukum kian mendapat kritik menyusul kesalahan penetapan tersangka dan penyebaran data pribadi di kasus pengeroyokan aktivis politik Ade Armando. Berbagai studi di luar negeri memperkuat bukti keberadaan masalah teknologi ini.
Diketahui, Ade dikeroyok oleh sejumlah orang dalam demo mahasiswa di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (11/4). Beberapa hari setelahnya, Polisi mengungkap sejumlah nama tersangka.
Lewat teknologi face recognition, polisi mengidentifikasi enam orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka, yakni Komarudin, Muhamad Bagja, Dhia Ul Haq, Abdul Latip, Abdul Manaf, serta Ade Purnama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belakangan, polisi mengaku keliru menetapkan status tersangka kepada salah satunya Abdul Manaf lantaran keterbatasan teknologi. Sementara, fotonya sudah keburu beredar di media sosial lewat akun-akun diduga buzzer dan menjadi sasaran perundungan warganet.
Pakar Ilmu Komputer Universitas Padjadjaran (UNPAD) Setiawan Hadi menilai mestinya polisi tidak langsung percaya kepada algoritma komputer yang merupakan hasil pengembangan teknologi dari manusia.
"Sebetulnya enggak boleh kita, sekali lagi, kalau kita pakai mesin enggak boleh semata-mata bergantung pada mesin. Kita mesti check and recheck lagi," ujar dia, kepada CNNIndonesia.com lewat sambungan telepon, Kamis (14/4).
Ia menjelaskan teknologi face recognition merupakan kecerdasan buatan atau AI yang diajarkan untuk mengidentifikasi individu lewat fitur wajah. Cara kerjanya adalah dengan mengenalkan database wajah kepada algoritma. Mesin akan melacak sampel gambar individu yang hendak diketahui identitasnya.
Algoritma mengenali sampel wajah itu dengan mengidentifikasi fitur wajah seperti mata, hidung, bibir, bentuk wajah sebagai parameter identifikasi.
Menurut Setiawan, face recognition terbilang sering digunakan dalam dunia riset. Namun, tetap ada false positive atau kesalahan dalam mengungkap identitas individu.
Pasalnya, ada kemungkinan orang yang mirip dengan sampel gambar pada database, sehingga algoritma salah membaca sampel tersebut.
"Perlu check and recheck dan enggak boleh langsung di-publish. Kalau di-publish kan polisi lain langsung action. Nah ini enggak boleh langsung percaya. Walaupun itu dari pusat biometrik kepolisian," katanya.
Pakar IT yang juga berfokus pada bidang kecerdasan buatan (AI) itu mengatakan polisi terlalu dini menyimpulkan hasil identifikasi dari teknologi itu. Dia menduga Polisi mendapat tekanan dari masyarakat untuk mengungkapkan identitasnya.
"Polisi terlalu dini [menyimpulkan]. Mungkin tekanan dari masyarakat ingin tahu siapa sih [pelakunya]," ucapnya.
Terpisah, pakar keamanan siber sekaligus pendiri Ethical Hacker Indonesia Teguh Aprianto mengatakan harusnya proses penyelidikan terduga pelaku pengeroyokan tertutup dan tidak semestinya bocor ke pihak manapun.
Dia menduga pihak kepolisian mengerahkan sejumlah pendengung alias buzzer untuk menyebar identitas terduga pelaku lewat akun anonim atau akun tanpa identitas jelas di media sosial.
Dugaan Teguh bukan tanpa alasan. Data yang diambil dari sejumlah akun Twitter terang-terangan mengungkap identitas lengkap pihak yang diduga mengeroyok Ade Armando.
Padahal, kata dia, seharusnya data semacam itu hanya dimiliki oleh pihak berwenang. "Untuk polisi, tolong kebiasaan menyebarkan data pribadi seseorang via akun anonim diakhiri," ujar Teguh lewat Twitternya.
Sejauh ini belum ada pernyataan lanjutan dari kepolisian ihwal akun-akun penyebar identitas pengeroyok itu.
Polisi hanya mengakui meleset dalam mengidentifikasi Abdul Manaf.
"Karena orang yang kita duga pelaku itu menggunakan topi, sehingga begitu topinya dibuka tingkat akurasinya tidak 100 persen. Jadi Abdul Manaf bisa dikatakan bukan sebagai pelaku," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes E Zulpan, Rabu (13/4)
Bersambung ke halaman berikutnya..