Face Recognition, Antara Akurasi Lemah dan Turut Campur Buzzer

CNN Indonesia
Rabu, 20 Apr 2022 06:11 WIB
Teknologi face recognition dalam penegakan hukum tengah menghadapi kritik di luar maupun dalam negeri dalam hal akurasi dan masalah privasi.
Polda Metro Jaya mengaku salah mengidentifikasi tersangka karena persoalan topi. (Foto: istockphoto/izusek)

Face Recognition juga sudah lebih dulu memicu polemik di berbagai negara karena, salah satunya, terkait pengekangan kebebasan berpendapat. Misalnya, pemantauan dan penangkapan demonstran gerakan pro-demokrasi di Hong Kong oleh pemerintah China.

Perdebatan terhadap face recognition pada dasarnya terkait beberapa hal. Pertama, masalah privasi.

Contohnya, ketika seseorang masuk ke sebagian besar toko ritel, kamera keamanan dipasang di lokasi itu untuk mencegah pencurian. Namun, kamera tersebut bisa mengambil data wajah pengunjung untuk database toko.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikutip dari Forbes, hingga kini belum ada aturan yang transparan ihwal bagaimana data pengenalan wajah dapat digunakan dan bagaimana data tersebut dibagikan. Lagi-lagi privasi warga jadi korban.

Padahal, privasi adalah hak fundamental di dunia digital dan dunia fisik. Tanpa perlindungan itu, warga hanya akan jadi objek pengekangan hak secara tak tepat sasaran.

Kedua, masalah akurasi. Hasil studi Massachusetts Institute of Technology (MIT) menunjukkan bahwa Rekognition, teknologi pengenalan wajah produk Amazon yang dipakai polisi di AS, bermasalah dalam mengenali wajah warga Afro-Amerika.

Hasil Senada ditemukan dalam penelitian Institut Nasional Standars dan Teknologi (NIST) AS terhadap 189 algoritma dari 99 pengembang, termasuk Intel, Microsoft, Toshiba, dan perusahaan China Tencent dan DiDi Chuxing.

Algoritma dalam studi NIST diuji pada dua jenis kesalahan, yaitu positif palsu, di mana perangkat lunak salah menganggap foto dua individu yang berbeda menunjukkan orang yang sama; dan negatif palsu, di mana perangkat lunak gagal mencocokkan dua foto yang menunjukkan orang yang sama.

Bahwa, perbedaan wajah berdasarkan demografi memberi akurasi hasil yang berlainan.

Kasus terbaru adalah penyelidikan oleh dua Anggota DPR AS terhadap ID.me, sebuah perusahaan menyediakan layanan face recognition untuk memverifikasi identitas bagi sejumlah lembaga negara bagian dan federal, terkait masalah privasi dan keamanannya.

Melihat gambaran hasil studi dan contoh kasus di atas, patut dipertanyakan masa depan teknologi pengenalan wajah di ranah penegakan hukum dan pemerintahan. Selain berpotensi penyebaran data pribadi tak sesuai kewenangannya, ada pula risiko kriminalisasi.

(can/arh)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER