Usai 10 tahun mengaplikasikan ilmunya di bidang kesehatan, Sudaryanto beralih ke bidang energi. Di sini, dia menggunakan ilmunya untuk menjawab tantangan dunia akan kebutuhan baterai.
Sudaryanto menyebut perkembangan teknologi perangkat-perangkat penunjang kehidupan terus tumbuh dan "menuntut" kapasitas baterai yang lebih besar, tetapi dengan ukuran yang lebih ringkas.
Umumnya sebuah baterai lithium yang saat ini banyak digunakan untuk berbagai perangkat menggunakan elektrolit cair sebagai media penyimpanan energinya. Namun ada beberapa kekurangan yang dimiliki bahan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga :MEET THE GEEK Aeshnina Vs Plastik, dan Mimpi Gantikan Menteri LHK |
Maka dari itu Sudaryanto dalam penelitiannya mencoba mengembangkan baterai lithium yang menggunakan elektrolit padat. Menurutnya, ada sejumlah kelemahan bahan elektrolit cair.
"Elektrolit cair itu kalau panas banget bisa degradasi menjadi gas dan baterainya menggelembung, atau yang dikenal baterai hamil. Dan ini bisa menjadi penyebab kebakaran juga," jelasnya.
Selain itu, baterai yang menggunakan elektrolit cair juga disebut membutuhkan wadah yang rapat untuk menghindari terjadinya kebocoran.
Pengembangan baterai lithium yang menggunakan elektrolit padat ini diharapkan dapat mengatasi kekurangan tersebut, sekaligus menjawab tantangan dunia teknologi. Ia pun berangan-angan soal baterai yang fleksibel.
"Jika suatu saat ponsel bisa dilipat seperti jam tangan, baterai juga harus fleksibel. Karena tuntutan masa depan seperti itu, solusinya elektrolit yang digunakan jangan elektrolit cair, elektrolitnya pakai yang padat," tutur Sudaryanto.
Dalam pengembangan baterai ini, Sudaryanto menggunakan logam tanah jarang (rare earth) untuk meningkatkan kinerja baterai.
Baterai yang ada sekarang dinilai memiliki umur yang kurang panjang dan kapasitasnya cepat habis. Logam tanah jarang digunakan untuk mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut.
Menurut Sudaryanto, Indonesia memiliki logam tanah jarang yang cukup banyak dan bisa ditemukan pada sisa tail timah. Namun logam tanah jarang tersebut keberadaannya selalu bersama Uranium dan Thorium, atau yang disebut batuan monasit.
Maka dari itu, Uranium dan Thorium dalam monasit tersebut harus dipisahkan terlebih dulu agar logam tanah jarang yang akan dimanfaatkan tidak mengandung unsur radioaktif.
Proses menciptakan baterai yang lebih baik disebutnya sebagai perjalanan yang panjang. Sudaryanto memperkirakan baterai semacam ini mungkin baru bisa benar-benar hadir pada 10 hingga 15 tahun ke depan.
Meski belum akan hadir dalam waktu dekat, baterai yang lebih efisien dan lebih fleksibel akan membuat perangkat teknologi di masa depan memiliki komponen penunjang yang lebih baik.
Perbincangan soal inovasi dan masa depan teknologi selalu menyenangkan untuk disimak. Namun tak terasa waktu berbuka hampir tiba dan perbincangan kami telah berlangsung lebih dari satu jam.
Di ujung perbincangan, Sudaryanto juga mengatakan harapannya pada dunia riset tanah air.
"Harapannya makin banyak peneliti-peneliti Indonesia yang diperhitungkan di level dunia," katanya.
(lom/arh)