Elon Musk Ingin Ubah Twitter, Pakar Ingatkan Pengalaman Perpecahan RI

CNN Indonesia
Selasa, 26 Apr 2022 23:03 WIB
Pakar menilai kebebasan berpendapat yang digaungkan Elon Musk untuk Twitter bukan jaminan kemajuan peradaban, contoh nyatanya saat Pemilu 2019.
Ilustrasi. Kebebasan berpendapat yang digaungkan Elon Musk di Twitter dinilai tak selalu berarti positif. (Foto: REUTERS/DADO RUVIC)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kebebasan berpendapat yang mungkin dibawa miliarder Elon Musk di Twitter disebut bukan jaminan kemajuan peradaban. 

"Kebebasan ekspresi yang seluas-luasnya bukan jaminan kemajuan peradaban," ujar pengamat budaya dan komunikasi digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan kepada CNNIndonesia.com, Selasa (26/4).

"Pengalaman Indonesia ketika Twitter menjadi bagian medium kampanye politik, maka segregasi sosial yang ditimbulkan masih terasa sampai hari ini," lanjutnya, menyinggung dampak polarisasi akibat Pilpres 2019.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelumnya, Bos SpaceX dan Tesla, Elon Musk, resmi membeli Twitter senilai US$44 miliar pada Senin (25/4). Dalam proses akuisisi itu, Musk menggaungkan kebebasan berpendapat di dunia maya.

"Saya pikir sangat penting Twitter bisa menjadi arena inklusif untuk kebebasan berpendapat," ucapnya.

"Twitter secara de facto telah menjadi semacam alun-alun kota (tempat bertukar pendapat), jadi sangat penting bagi orang-orang secara realita dan persepsi bisa berbicara bebas dalam batas-batas hukum," katanya.

Musk juga menegaskan keputusannya menguasai saham Twitter bukan tentang menghasilkan uang, tapi soal peradaban.

"Perasaan intuitif kuat saya adalah, memiliki platform publik yang dapat dipercaya secara maksimal dan inklusif secara luas sangat penting untuk masa depan peradaban," ujarnya.

Menanggapi pernyataan Musk itu, Firman menilai orang terkaya dunia versi Forbes ini akan membangun 'pasar bebas' opini di Twitter.

"Tafsir yang dapat ditarik dari statement ini, nampaknya Musk akan membangun sebuah public sphere lebih terbuka, lewat Twitter. Ini bertujuan agar ekspresi pendapat apapun, dapat tersampaikan secara terbuka," jelasnya.

"Implikasinya, ibarat mekanisme pasar, pendapat yang tidak dapat diterima oleh komunitas akan tereliminasi lewat perdebatan. Bukan moderasi," imbuh dia.

Meski demikian, Firman menilai kebebasan berpendapat ini bisa direspons beragam di berbagai negara dengan latar belakang budaya berbeda.

"Twitter sebagai platform terbuka dengan pemilik akun yang berasal dari budaya yang berbeda-beda, akan menanggapi perdebatan dengan persepsi yang berbeda beda. Tentu ini perlu memperoleh perhatian secara mendetail," terang Firman.

Dia mencontohkan kicauan mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trup yang misoginis, seksis, provokatif, yang akhirnya membuat Trump diblokir dari jagad Twitter lewat kebijakan moderasi kontennya.

"Lewat kepemilikan Musk, nampaknya mekanisme moderasi yang berhati-hati seperti itu, akan berubah," tandas Firman.

(arh/arh)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER