Migrasi Digital dan Padatnya Jagad Lalu Lintas Penyiaran
Bila kita dianugerahi penglihatan super canggih, lalu bisa melihat gelombang radio yang ada, hampir pasti akan berdecak kagum dan terpana.
Gelombang radio (radio wave), si alat pengangkut, berbagai bentuk isi/konten siaran audio dan visual yang ditangkap oleh gawai, televisi, ataupun perangkat lainnya hilir mudik tanpa pernah berhenti. Gelombang radio mengirim gambar dan suara selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu.
Terlebih sejak pandemi Covid-19 memeluk dunia, termasuk Indonesia, sebagian besar orang mengganti perjumpaan antar wajah dengan tatap muka melalui medium. Entah itu video call, zoom, google meet, atau sederet aplikasi lainnya.
Makin keras pula kerja gelombang radio menghantarkan ilmu, informasi dan tentunya menghantarkan cinta dan simpati pada orang-orang yang membutuhkan.
Bisa juga dikatakan padatnya lalu lintas jagad dunia gelombang radio meningkat berlipat. Bisa dikatakan, sebagian besar dari sekitar 261 jutaan penduduk di Indonesia butuh mengirim dan menerima informasi melalui internet.
Kebutuhan jelas meningkat. Sementara itu, spektrum atau lebar jalanan yang dipakai lalu lintas gelombang radio menghantarkan isi pesan itu tetap.
Seperti itulah gambaran era teknologi digital. Teknologi yang mulai menggeliat sejak satu dasawarsa ini menjadi tulang punggung jalannya pertukaran data dan informasi.
Menjelma bagai "udara" di kehidupan sehari-hari, teknologi digital makin masuk dan berdampak luas sekaligus mendalam di setiap orang.
Oleh karena itu, perlu ada penataan infrastruktur digital. Jika saat ini saja sudah padat, hal itu akan bertambah padat lagi.
Langkah pertama dalam melakukan penataan adalah mengatur penggunaan gelombang radio yang frekuensinya digunakan penyiaran televisi. Saat ini, teknologi penyiaran televisi yang digunakan adalah teknologi analog.
Dulu, sebelum digital semerebak seperti sekarang ini, sebutlah era tahun 50-an sampai dengan tahun 2000-an, teknologi penyiaran televisi masih analog. Spektrum gelombang pada periode itu memang amat longgar. Tidak ada yang mengisi.
Selanjutnya lahir lembaga penyiaran swasta yang ikut meramaikan. Sebut saja RCTI sebagai si sulung, yang kemudian diikuti dengan lahirnya stasiun-stasiun televisi lainnya.
Semuanya itu menggunakan teknologi analog untuk menyiarkan mata acara yang menarik dan menghibur.
Dewasa ini, tepatnya tahun 2021, jumlah stasiun televisi yang bersiaran secara analog di Indonesia mencapai 728. Ini tentulah jumlah yang luar biasa. Dari satu stasiun bernama TVRI, kini ada 728 stasiun. Dulu hanya dilalui satu stasiun televisi, kini digunakan oleh 728 stasiun.
Sifat atau karakter kerja teknologi analog adalah memakan ruangan frekuensi. Jatah ruang frekuensi yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan kebutuhan penyaluran jika menggunakan teknologi digital.
Sebagai contoh perumpaan dari teknologi penyiaran analog, untuk menyalurkan koleksi informasi di dalam buku yang ada di perpustakaan nasional akan membutuhkan 100 kontainer.
Namun ketika dijadikan buku digital, cukup membawa satu buah eksternal hard disk sebesar dua kali dompet. Apalagi dengan teknologi cloud, tidak lagi dibutuhkan pemindahan fisik.
Dengan penggambaran itu, teknologi penyiaran analog yang digunakan oleh 728 stasiun penyiaran itu bekerja seperti membawa (tulisan, foto, dan gambar bergerak) berbentuk fisik kemana-mana. Oleh karenanya, informasi yang dibawa terbatas. Kendaraan yang dipakai juga lebih besar.
Sudah pasti, saat 728 stasiun penyiaran ini memancarkan informasi, maka semakin padat dalam satu spektrum. Berombongan, gelombang pembawa konten itu berjalan hilir mudik menyampaikan data dan informasi ke masyarakat indonesia untuk disajikan di televisi.
Situasi seperti inilah yang dinamakan padatnya jagad lalu lintas penyiaran. Kerapian penggunaan spektrum dan pemanfaatan sumber daya frekuensi inilah yang ditata oleh pemerintah melalui program analog switch off atau ASO.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate mengatakan bahwa teknologi memiliki nilai sangat strategis karena menjadi pilar utama pada saat Indonesia memasuki industri 4.0.
"Peran sektor ini juga menjadi sentral pada saat pandemi COVID-19, adaptasi kebiasaan baru [new normal], dan pasca pandemi. Selain itu, menjadi tulang punggung ekonomi digital nasional. Karena tanpa infrastruktur dan dukungan kebijakan di sektor ini, ekonomi digital tidak akan berlangsung seperti yang kita harapkan," kata Johnny dalam konferensi pers virtual di kantor Kementerian Kominfo, Jakarta, Selasa, (6/10).
Oleh karena itu, langkah pertama adalah menata jalur dan infrastruktur lalu lintas data di jalur gelombang radio. Pasalnya, teknologi digital juga menggunakan jalur tersebut.
Dengan teknologi digital, hal yang semula terasa besar, berat, dan bergerak lambat laksana tronton besar, langsung berubah menjadi gesit serta rapi. Itulah migrasi teknologi penyiaran analog menjadi teknologi penyiaran digital.
(aor)