Hiu purba, megalodon, ternyata punya cemilan favorit yakni hidung paus sperma. Penyebabnya, hidung paus sperma punya kandungan lemak dan minyak.
Fakta ini diketahui setelah beberapa ilmuwan di Peru meneliti fosil tulang paus purba yang hidup sekitar 23 hingga 5,3 juta tahun yang lalu. Hasilnya, mereka menemukan banyak gigitan hiu di sana.
Bukan hanya megalodon (Otodus megalodon), ada pula hiu putih (Carcharodon carcharias) dan hiu mako (Isurus) yang juga suka mengemil hidung paus sperma. "Banyak hiu menggunakan paus sperma ini sebagai cadangan lemak," kata Aldo Benites-Palomino yang memimpin studi ini seperti dikutip dari Live Science.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Aldo, yang merupakan kandidat doktor di Paleontological Museum of the University of Zurich, mengatakan, hasil temuannya tergolong mengesankan. "Pada satu spesimen, saya kira kami punya paling tidak lima sampai enam gigitan hiu di area yang sama, itu gila," cetusnya.
Untuk keperluan studi ini, Aldo dkk. menganalisa fosil tulang paus sperma yang merupakan koleksi Natural History Museum di kota Lima. Tulang-tulang itu berasal dari wilayah selatan Peru tepatnya di Pisco dan berusia sekitar 7 juta tahun lalu.
Pada era yang disebut Miocene itu, area Pisco merupakan titik kumpul dari keragaman hayati laut.
Dalam penelitiannya, para ilmuwan menemukan bekas gigitan dari mulai yang hanya tergores hingga 18 lubang yang terpusat di satu area. "Bagi kami ini jelas, ada sesuatu yang terjadi. Hiu entah kenapa memburu hewan ini dan mengincar hidungnya," kata Aldo.
Mengutip Popular Science, paus sperma baik yang modern atau purba memiliki bagian tubuh yang disebut supercranial basin atau 'baskom superkranial' yang menjadi 1/3 bagian dari tubuh paus.
Bagian pada kepala tersebut menjadi tempat bagi organ yang memproduksi suara bagi paus sperma. Kebanyakan supercranial basin itu diisi oleh lemak dalam jumlah ekstirm yang disebut spermaceti.
Pada era modern, hiu tidak lagi memakan hidung paus sperma sebagai cemilan. Menurut Aldo, hal itu terjadi karean faktor lingkungan.
"Anda membayangkan bagaimana ini terjadi. Apakah ada impilkasi dari lingkungan? Daripada menjawab pertanyaan itu, saya kira ini membuat saya punya lebih banyak teka-teki di sekitar penelitian ini," katanya mengakhiri.
(ttf/lth)