Ahli Antisipasi Tindakan Semena-mena Pemerintah Soal Pendaftaran PSE

CNN Indonesia
Selasa, 26 Jul 2022 14:58 WIB
Menurut Koalisi Serius Revisi UU ITE, Permenkominfo 5/2020 mengatur hal yang lebih luas dari pendaftaran seperti moderasi konten, pemutusan akses, akses data.
Koalisi Serius Revisi UU ITE mengantisipasi tindakan semena-mena pemerintah terkait pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). (Foto: CNN Indonesia/Kustin Ayuwuragil)
Jakarta, CNN Indonesia --

Koalisi Serius Revisi UU ITE mengingatkan sederet ancaman jika aplikasi atau platform teknologi mendaftar Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mulai dari moderasi konten hingga akses data pengguna oleh pemerintah.

Koalisi Serius Revisi UU ITE merupakan perkumpulan yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil, di antaranya Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFENet), dan Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Koalisi ini dibentuk untuk mengadvokasi revisi pasal-pasal karet dalam UU ITE.

Sebelumnya, pemerintah menyebut kewajiban pendaftaran PSE yang diatur dalam Permenkominfo 5/2020 hanya sebatas pendaftaran. Namun menurut Koalisi Serius Revisi UU ITE, Permenkominfo 5/2020 mengatur hal yang lebih luas dari pendaftaran seperti moderasi konten, pemutusan akses, akses data untuk kepentingan pengawasan dan penegakan hukum, hingga penjatuhan sanksi kepada PSE.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Konsekuensi dari pendaftaran ini berarti PSE akan menyerahkan sebagian tata kelola konten dan izin akses kepada negara, setidaknya hal ini akan membahayakan dalam beberapa hal.

Pertama, argumentasi Ditjen Aptika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan yang menyatakan ada motif ekonomi mengapa negara mewajibkan PSE untuk mendaftar, karena PSE menjadikan Indonesia sebagai pasar. Namun yang sebenarnya terjadi, Permenkominfo 5/2020 mendefinisikan PSE sangat luas. Sehingga dapat dimaknai bahwa seluruh penyelenggara sistem elektronik, termasuk yang non-komersial, diwajibkan untuk mendaftar.

"Ini menyebabkan seluruh PSE dengan berbagai kapasitas sistem, termasuk mereka yang masih dalam rintisan akan sulit memenuhi semua standar kebijakan ini," ujar Koalisi ini dalam sebuah keterangan, Selasa (26/7).

Artinya, PSE hanya diberikan dua pilihan, yakni daftar atau sanksi. Dengan ini negara perlahan membunuh inovasi dari pengembang platform. Padahal menurut mereka, pengembangan inovasi dan teknologi digital lebih membutuhkan kebijakan afirmasi untuk perlindungan alih-alih dibebankan berbagai kewajiban yang sama rata bagi setiap platform.

Selain itu, pasal-pasal dalam Permenkominfo 5/2020 juga beberapa kali mengancam untuk melakukan blokir kepada PSE. Misalnya dalam Pasal 7 ayat (3), Pasal 15 ayat (7), dan Pasal 16 ayat (11).

Berlandaskan aturan tersebut, keputusan melakukan access blocking kepada suatu konten di internet dapat dilakukan dengan mudah dan elastis. Koalisi ini menyebut menteri dapat memerintahkan kepada PSE untuk menghapus konten yang dianggap mengganggu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat.

"Permasalahannya, definisi dari mengganggu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat tidak pernah didefinisikan secara jelas," tutur mereka.

"Bisa saja kejadian pemblokiran situs berita seperti Suara Papua pada tahun 2016 karena memberitakan kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum di Papua kembali terjadi karena dianggap meresahkan," tambahnya.

Maka dari itu Koalisi Serius menyarankan pengecekan konten yang dianggap meresahkan dan mengganggu ketertiban umum harus melibatkan pihak ketiga, tak hanya pemerintah.

"Karena dalam tata kelola konten internet, negara tidak boleh mengambil dominasi di atasnya dan menjadikan platform dan pengguna sebagai objek pengaturan yang ditempatkan sebagai submisif," terang mereka.

[Gambas:Video CNN]



(lom/mik)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER