Jakarta, CNN Indonesia --
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebut setidaknya ada empat dampak dari penerapan aturan pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, mulai dari dampak ekonomi hingga Hak Asasi Manusia (HAM).
Kondisi ini berkenaan dengan digaungkanya Permenkominfo 5/2020, yang di dalamnya mewajibkan seluruh PSE Lingkup Privat mendaftar ke Kemenkominfo, atau aksesnya di Indonesia akan diblokir.
Dengan demikian, sederet aplikasi maupun raksasa teknologi seperti Google, WhatsApp, Facebook, Twitter hingga TikTok berbondong-bondong mendaftarkan ke Online Single Submission (OSS) agar terdaftar di PSE Kemenkominfo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, beragam reaksi pengguna ekosistem digital berkecambuk di media sosial. Sejumlah pihak menilai aturan itu bakal mebuat kebebasan berekspresi di media sosial dikebiri, hingga gangguan ekonomi digital.
Berpengaruh Terhadap Ekonomi
Head of Economic Opportunities Research Center CIPS Trissia Wijaya mengatakan protes seputar pemblokiran beberapa platform digital oleh Kemenkominfo pekan lalu berdampak pada kegiatan ekonomi.
"Pemblokiran ini juga menutupi kekhawatiran sementara pihak yang mempertanyakan kemampuan pemerintah untuk melindungi data yang kini bisa diaksesnya," ujar Trissia lewat keterangan tertulis, Senin (1/8).
Sebelumnya, dampak penerapan aturan pendaftaran PSE Lingkup Privat adalah Sandya Widyawirawan (22), seorang pekerja kreatif asal Cibubur.
Ia melakukan aksi seorang di depan Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Senin (1/8) dengan membawa papan bertuliskan "Gara-gara Kominfo nafkah saya hilang."
Ia menyebut pekerjaannya terganggu akibat pemblokiran yang dilakukan Kominfo terhadap platform pembayaran online PayPal.
Paypalberfungsi sebagai rekening online yang bisa dimanfaatkan mengirim atau menerima uang dari orang lain. Platfrom ini juga bisa terhubung dengan pembayaran dari hasil iklan di channel YouTube maupun website.
Pemblokiran ini juga mengundang kritik dari berbagai pihak, terutama di sosial media, terkait dengan dampaknya pemblokiran terhadap kesejahteraan pengguna platform.
Pelanggaran Data Pribadi
Lebih lanjut Trissia mengatakan Peraturan Menteri Kominfo nomor 5/2020 yang mendasari pemblokiran itu, mewajibkan PSE Lingkup Privat untuk memberikan akses terhadap sistem atau data elektronik kepada kementerian atau lembaga dan aparat penegak hukum.
"Walaupun akses itu dikatakan adalah dalam rangka pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ujarnya.
Dengan demikian ia melihat tidak ada jaminan dari pemerintah, sistem atau data PSE yang diakses pemerintah tersebut terlindungi dengan baik dan terjamin kerahasiaanya.
Di samping itu, Peneliti CIPS Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan aturan tersebut mengikat platform untuk membuka dan menyerahkan akses data dan juga sistemnya kepada pemerintah, dan hal tersebut rentan terhadap pelanggaran data pribadi.
"Kebijakan ini perlu dievaluasi, apakah memang pemerintah sudah bisa menyediakan perlindungan terhadap data yang memadai dan menjamin kerahasiaannya," ujarnya lewat keterangan tertulis.
Menurut Pingkan Pasal 21 Permenkominfo 5/2020 menyatakan PSE Lingkup Privat wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau Data Elektronik kepada, (a) kementerian atau lembaga dalam rangka pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan (b) APH dalam rangka penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya Pasal 3 ayat (4) butir (i), disebutkan setiap PSE Lingkup Privat wajib melampirkan surat keterangan yang menyatakan mereka menjamin dan melaksanakan kewajiban pemberian akses terhadap Sistem Elektronik dan Data Elektronik dalam rangka memastikan efektivitas pengawasan dan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, di dalam dokumen pendaftaran wajibnya.
Penelitian CIPS menyimpulkan akses ke sistem milik PSE Lingkup Privat belum tentu pilihan terbaik. Menurutnya, pilihan ini harus diambil sebagai upaya terakhir setelah semua tindakan mitigasi keamanan informasi dilakukan.
Pelanggaran HAM
Di samping itu Pingkan menjelaskan aturan pendaftaran PSE ini merupakan langkah yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan demikian ia menyarankan untuk meninjau ulang aturan tersebut.
"Implementasi Permenkominfo 5/ 2020 harus ditinjau kembali apakah sudah sesuai prinsip umum HAM, hak kekayaan intelektual, dan perlindungan data pribadi," tuturnya.
Di sisi lain, menurutnya, akses terhadap data dan sistem PSE merupakan isu yang sensitif karena menyangkut upaya paksa (dwang middelen).
Pingkan mengatakan hal ini tidak sejalan dengan HAM dan kemerdekaan individu, serta berkaitan erat dengan perlindungan data pribadi maupun rahasia dagang milik PSE (termasuk hak-hak kekayaan intelektual yang terkait seperti hak cipta).
Langgar Kebebasan Berpendapat
Kemudian menurut Pingkan, aturan tersebut tak luput dari pelanggaran kebebasan berpendapat karena tidak membahas mengenai akuntabilitas.
"Akibatnya, muncul risiko moderasi konten yang berlebihan yang tentu saja mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat," tuturnya.
Selain belum membahas akuntabilitas, regulasi ini juga secara eksplisit membatasi interpretasi moderasi konten sebagai penghapusan konten saja. Padahal, membatasi konsepsi regulasi moderasi konten sebagai penghapusan konten dinilai sebagai hal problematik.
Permohonan pemutusan akses sebagaimana yang tertuang dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 hanya meninggalkan dua pilihan ekstrem, yaitu menghapus atau membiarkan konten yang dilaporkan.
"Sementara menghapus konten dapat melanggar kebebasan berpendapat, membiarkan konten dapat membuat PSE menerima sanksi dari Kemenkominfo," tuturnya.
[Gambas:Video CNN]