Kendaraan bermotor (transportasi) menjadi penyumbang terbesar polusi udara di Jakarta. Hal ini bak menjawab pertanyaan alasan DKI kerap menjadi kota dengan indeks kualitas udara terburuk dunia.
Berdasarkan situs IQAir, Jakarta beberapa kali meraih jawara Indeks kualitas udara (Air Quality Index/ AQI) terburuk dunia. Pada Rabu (22/6), DKI menjadi yang terburuk di dunia dengan skor 163 alias tidak sehat. Di bawahnya, ada Beijing (159) dan Dhaka (157).
"Konsentrasi PM 2.5 di udara Jakarta saat ini 15.8 kali di atas nilai panduan kualitas udara tahunan WHO," demikian dikutip dari situs tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengukuran kualitas udara situs ini dilakukan dengan mengacu pada angka PM 2.5, yang merupakan polutan berbentuk debu, jelaga, asap berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron.
Sebelumnya, udara di Jakarta juga menjadi yang terburuk di dunia pada Rabu (15/6) pukul 09.50 WIB. Saat itu, Indeks kualitas udaranya mencapai 183 US AQI dengan PM 2.5 sebesar 118 µg/m³ dan PM 10 sebesar 20,6 µg/m³.
Per hari ini, Senin (26/9) pukul 05.51 WIB, kualitas udara Jakarta masih berkategori 'sedang' dengan angka 99. Meski demikian, itu sudah tujuh kali lipat dari nilai standar kualitas udara WHO.
Dari mana datangnya polusi itu?
Berdasarkan Public Expose: Strategi Pengendalian Pencemaran Udara Dinas Lingkungan Hidup Jakarta 2022 yang dirilis Senin (19/9), jawabannya adalah kendaraan bermotor.
DLH DKI, menurut inventarisasi emisi DLH di 2020, mengungkap ada empat sektor yang dihitung, yakni industri energi, manufaktur, transportasi, residensial dan komersial.
"Dari inventarisasi emisi tersebut, sektor transportasi menjadi kontributor terbesar terutama untuk polutan NOx, CO, PM10, PM2.5. SO2 didominasi oleh sektor industri,"
Ada tujuh jenis polutan yang diteliti yakni karbon monoksida (CO), Nitrogen Oxsida (NOx), Sulfur dioksida (SO2) Partikulat udara 10 mikrometer (PM10), partikulat udara 2,5 mikrometer (PM2,5), karbon hitam (BC), dan Non-methane volatile organic compounds (NMVOC).
Dalam ketujuh jenis polutan itu, jumlah CO merupakan yang terbanyak yakni 298.171 ton dengan kendaraan bermotor menyumbang 28.317 ton atau 96,36 persen.
Selain kendaraan bermotor, penyumbang CO terbesar di Jakarta adalah sektor industri (3.738 ton, 1,25 persen), pembangkit listrik (5.252 ton, 1,76 persen), perumahan (1.774 ton, 0,59 persen), dan komersial (90 ton, 0,03 persen).
Setelah CO, NMVOC menyusul di urutan kedua polutan paling banyak di Jakarta dengan jumlah 201.871 ton.
Mayoritas NMVOC datang dari kendaraan bermotor (19.936 ton, 98,5 persen), disusul industri (1.212 ton, 0,66 persen), pembangkit listrik (352 ton, 0,17 persen), perumahan (1.407, 0,7 persen), dan komersial (64 ton 0,03 persen).
Kendaraan bermotor juga menjadi penyumbang terbesar untuk polutan PM10, PM 2,5, dan BC. Untuk PM10, kendaraan bermotor menghasilkan 5.113 ton atau 57,99 persen.
Sementara, untuk PM2,5 kendaraan bermotor menghasilkan 5.257 ton alias 67,04 persen. Di saat yang sama, kendaraan bermotor juga berada di urutan pertama dalam hal sumbangan BC di angka 5.048 ton atau 84,05 persen.
Hal berbeda terjadi di SO2. Di polutan jenis ini, sektor industri menjadi penyumbang terbanyak yakni 2.637 ton (61,96%) dari total 4.256 ton. Pembangkit listrik berada di urutan kedua penyumbang SO2 dengan 1.071 ton atau 25,165 persen.
Kendaraan bermotor ada di tempat ketiga dengan sumbangan 493 ton SO2 atau 11,58 persen. Sektor perumahan dan komersil masing-masing menyumbang 0,96 persen SO 2 (41 ton), dan 0,33 persen atau 14 ton SO2.
Perumahan dan komersil konsisten menjadi penyumbang terkecil tujuh jenis polutan tersebut. Perumahan 'hanya' menghasilkan 48 ton PM10, 33 ton PM2,5 dan 1 ton BC sedangkan komersil memproduksi 7 ton PM10, 3 ton PM2,5 dan 1 ton BC.
Fakta soal kontribusi kendaraan ini seiring dengan jumlah total kendaraan di Jakarta yang terus meningkat, dengan laju kenaikan angka sepeda motor mencapai 4,9 persen, sementara mobil penumpang naik 7,1 persen per tahun.
Sementara, jumlah mobil beban naik 5,3 persen dan mobil bus 4,7 persen.
Dengan laju kenaikan itu, berdasarkan data 2020, jumlah kendaraan bermotor di DKI mencapai 20,22 juta unit.
Ada tiga strategi dan 75 rencana yang diklaim bisa menurunkan emisi tujuh polutan tersebut.
Startegi pertama adalah peningkatan tata kelola pengendalian pencemaran udara. Isinya mulai dari peningkatan kualitas dan kuantitas inventarisasi emisi yang berkelanjutan hingga pengawasan dan penegakan hukum terhadap pencemaran udara.
Strategi kedua yakni Pengurangan Emisi Pencemar Udara dari Sumber Bergerak. Bentuknya, peremajaan angkutan umum dan pengembangan transportasi ramah lingkungan untuk transportasi umum dan pemerintah; penerapan uji emisi kendaraan bermotor; hingga pengembangan kawasan rendah emisi.
Strategi ketiga adalah Pengurangan Emisi Pencemar Udara dari Sumber Tidak Bergerak. Bentuknya yakni peningkatan ruang terbuka dan bangunan hijau; peningkatan instalasi panel surya atap; pengendalian emisi melalui infrastruktur ramah lingkungan; pengendalian polusi udara dari kegiatan industri.
(lth/arh)