Seumur-umur jadi juru warta, baru sekali ini narasumber terang-terangan meragukan identitas saya waktu hendak diwawancara. "Saya harus memastikan (kalau) Anda ini benar-benar wartawan," tulisnya melalui aplikasi pesan singkat.
Sang sumber, peneliti pada lembaga yang fokus pada satwa liar di Indonesia, sangat berhati-hati sekaligus takut identitasnya terbuka saat bicara pada wartawan tentang perselisihan antara peneliti asing dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kewaspadaan tingkat tinggi ini bermula lewat salinan sepucuk surat berisi perintah pencekalan dari KLHK terhadap Erik Meijaard dan sejumlah peneliti asing lain. Meijaard merupakan Direktur Pelaksana Borneo Futures, organisasi yang sejak lama menekuni riset konservasi orangutan di semenanjung Malaya termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut surat itu, publikasi nasional dan internasional Meijaard dkk tentang orangutan mengandung "indikasi negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah", dan karenanya para peneliti ini tak diterima lagi masuk kawasan Taman Nasional manapun di Indonesia.
Kepada CNN Indonesia, Meijaard yang saat ini berada di Brunei mengatakan tak tahu-menahu publikasi mana yang dimaksud.
Banyak yang menduga surat cekal ini berhubungan dengan tulisan opininya yang dimuat di Jakarta Post bertanggal 15 September 2022 (meski surat KLHK sendiri diberi tanggal 14 September).
Meijaard saat itu mempertanyakan klaim Menteri KLHK Siti Nurbaya yang disampaikan pada Hari Orangutan Sedunia 19 Agustus - yang menyebut populasi 3 spesies orangutan Indonesia (Pongo abelii, Pongo pygmaeus, Pongo tapanuliensis) terus bertambah.
Padahal berdasar penelitian timnya dan data KLHK sendiri, populasi satwa langka ini menciut. Spesies orangutan kalimantan, menurut Meijaard, turun dari 27 ribu ekor tahun 2016 menjadi 23 ribu ekor saat ini.
Sulit memastikan apakah selisih paham soal angka populasi ini yang jadi alasan pencekalan karena tak ada pejabat KLHK yang bersedia menjawab pertanyaan media.
Seorang peneliti senior yang berpengalaman memimpin riset kolaborasi Indonesia dan negara lain menyayangkan surat KLHK tersebut. Dalam dunia ilmiah, menurutnya peneliti akan selalu berargumen dengan hasil risetnya.
Sangat lazim dua pihak masing-masing mendapatkan data berbeda karena metodologi yang berbeda pula. Mencari kebenaran dalam sains bisa dilakukan dengan membandingkan data dan metodologi tersebut.
Jika Meijaard dianggap bersalah, sanksi bisa diberlakukan.
"Tapi kan mesti ada forum konfirmasi. Masing-masing pihak ajukan data dan bandingkan. Jika tak puas, malah terbuka peluang kolaborasi; teliti bersama supaya sama-sama tahu hasilnya. Kalau diselesaikan dengan cara begini jadinya tidak elegan," katanya sambil berpesan supaya identitasnya tak ditulis karena khawatir komentar ini akan berdampak pada tim penelitinya.
Beberapa peneliti senior, baik yang terafiliasi dengan lembaga penelitian milik pemerintah dan asing, memberikan pandangan senada. Sebagian besar mengkhawatirkan dampak dari insiden ini akan melebar pada pembatasan kegiatan penelitian terutama terkait konservasi satwa liar.
Apalagi dalam surat KLHK, salah satu poin dengan lugas memerintahkan "Melakukan pengawasan terhadap kegiatan penelitian yang telah mendapatkan izin pada saat ini terutama berkaitan dengan hasil hasil penelitian yang akan dipakai untuk publikasi guna dapat dijaga objektivitasnya."
Tak dijelaskan ukuran objektivitas seperti apa, atau siapa yang menentukan titik objektivitas itu.
Juga meski sasarannya adalah Meijaard dkk, ternyata dimuat pula instruksi agar semua taman nasional di bawah payung hukum KLHK "melaporkan kegiatan penelitian tentang satwa oleh peneliti asing atau dalam dukungan dana asing dalam kurun waktu 2017-2022..", yang berarti target surat meluas pada seluruh peneliti asing.
Keterlibatan peneliti asing dalam riset satwa liar Indonesia, terutama spesies ikonik seperti gajah, badak, harimau dan orangutan, sudah berjalan puluhan tahun.
Ilmuwan paling ternama dalam studi orangutan di dunia, Birute Galdikas, sudah terjun ke habitat orangutan Kalimantan sejak 1971. Meijaard yang bergelar Profesor Kehormatan di Universitas Kent, Inggris, sudah bertahun-tahun juga meneliti di Indonesia dan bermitra dengan para ilmuwan termasuk Professor Jatna Supriatna yang dikenal sebagai ahli primata terkemuka Indonesia.
Hubungan para peneliti atau organisasi konservasi asing dengan pemerintah tidak selalu mulus.
Misalnya saja pada 2020, ketika Menteri Siti Nurbaya tiba-tiba mengeluarkan Surat Keputusan memutus hubungan dengan Yayasan WWF Indonesia. WWF yang sudah melakukan kegiatan konservasi sejak 1962 di Indonesia, bekerja sama secara resmi dengan KLH selama 22 tahun.
Salah satu sebab pemutusan menurut surat Menteri Siti adalah ".. kampanye media sosial dan publikasi laporan yang tak sesuai fakta..". Seperti dalam kasus Meijaard, tidak jelas kampanye mana yang dianggap menyimpang karena permintaan pimpinan WWF untuk berkomunikasi langsung tidak direspons.
Hubungan peneliti asing-Indonesia juga pernah diramaikan dengan isu biopiracy alias dugaan pencurian kekayaan hayati Indonesia ke luar negeri. Akibatnya isu kepercayaan sempat menjadi salah satu ganjalan dalam kerjasama penelitian ini.
Dalam UU No.11/2019 tentang Sistem Nasional Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, pasal 75 dan 76 khusus dibuat untuk menangkal terjadinya kasus semacam ini. Peneliti asing diikat dengan syarat lebih ketat sebelum diizinkan meneliti di Indonesia. Semua proses ini berada di bawah kendali BRIN.
Saat ditanya, BRIN menyebut izin riset Meijaard belum pernah diperbarui dalam 5 tahun terakhir.
Sejak lama urusan konservasi dan data populasi satwa kerap dianggap sensitif. Populasi seringkali dipakai sebagai alat ukur sederhana untuk menilai gagal-berhasil upaya konservasi. Dalam habitat satwa yang kini banyak 'dirambah' kegiatan penebangan, tambang, perkebunan sawit, dan usaha eksploitasi lahan lainnya, dapat dipahami bagaimana habitat itu kemudian mengecil. Sebagai akibatnya, populasi satwa ikut turun.
Menyebutkan dengan gamblang populasi yang turun ini, bisa punya implikasi luas termasuk "menyalahkan" kebijakan pemerintah yang mengizinkan berbagai bentuk eksploitasi hutan dilakukan.
Apakah ini yang dipersoalkan KLHK dari publikasi Meijard et al? Sekali lagi, semua cuma bisa menduga.
KLHK perlu bicara agar persoalan bisa dijernihkan. Dalam terbitan Jakarta Post kemarin (Senin, 26/09), di laman "Letter to The Editor" KLHK merespons data yang dirilis Meijaard tetapi tidak menjelaskan isu surat pencekalan.
Satu hal yang banyak luput dari pembahasan adalah betapa krusialnya data populasi satwa ini bagi kegiatan konservasi satwa liar. Dengan metode penghitungan populasi apapun, data populasi yang menjadi rujukan menentukan model konservasi sehingga KLHK/pemerintah dapat merumuskan kebijakan paling tepat.
Untuk spesies yang sangat terancam dan langka seperti orangutan, strategi konservasi sangat krusial karena bila penurunan populasi berlanjut seluruh dunia bisa kehilangan satwa liar endemik yang hanya ada sebagian di Indonesia.
Tetapi untuk saat ini, mengharapkan data serupa muncul dari kalangan peneliti sepertinya sulit. Mayoritas memilih untuk 'tiarap' dan berusaha supaya tak jadi sasaran pencekalan berikutnya.
(vws)