Sejumlah daerah di Indonesia memiliki potensi sambaran petir yang lebih rendah dibandingkan daerah lain. Kenapa tak ada pemerataan halilintar di kawasan tropis?
Menurut peta sambaran petir Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), daerah dengan tingkat sambaran petir paling tinggi adalah Sumatera.
Dari periode April hingga Agustus, sebagian besar daerah Sumatra selalu memiliki tingkat sambaran petir lebih dari 60 ribu CG. CG atau cloud to ground (awan ke tanah) merupakan satuan yang digunakan untuk menghitung kuantitas sambaran petir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian besar wilayah Kalimantan dan Jawa juga memiliki tingkat sambaran petir yang tinggi.
Namun, kedua daerah ini memiliki tingkat sambaran petir yang tinggi hanya pada periode April hingga Juni, sementara pada Juli dan Agustus tingkat sambaran petirnya menurun hingga hanya sebagian kecil di Kalimantan dan hanya separuh Jawa.
Pada peta sambaran petir Agustus, sebagian daerah Kalimantan Tengah, sebagian Kalimantan Timur, sebagian besar Bali, NTT, dan Sulawesi Utara menjadi daerah dengan tingkat sambaran petir paling minim, yakni di bawah 15.000 CG.
Dosen Sekolah Tinggi Meteorologi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) Deni Septiadi mengatakan petir merupakan fenomena bahaya meteorologi yang jarang terjadi.
Menurutnya, petir sangat berkaitan dengan distribusi awan konvektif. Maka dari itu, suatu wilayah yang intensitas sambaran petir rendah "bukan berarti aman dari sambaran".
Dia menjelaskan petir adalah representasi awan konvektif matang Cumulonimbus (Cb) yang sudah dikategorikan sebagai badai petir. Puncak awannya terdiri dari partikel solid es kristal dan batu es dengan temperatur di bawah minus 40 derajat Celcius.
Dalam beberapa kasus badai petir sel tunggal di Indonesia bahkan suhu puncak awannya bisa mencapai minus 85 derajat Celcius.
"Dengan demikian, jelas sekali intensitas sambaran petir akan berasosiasi dengan pertumbuhan awan-awan konvektif di sekitar benua maritim Indonesia (BMI) yang notabene sebagai daerah dengan aktivitas konvektif kuat sehingga potensi pertumbuhan awan konvektif sangat masif," katanya kepada CNNIndonesia.com lewat pesan singkat.
Deni menjelaskan aktivitas petir tetap tinggi meski pada masa peralihan musim hujan ke kemarau pada periode Maret-April-Mei (MAM). Aktivitasnya bahkan melebihi aktivitas petir pada saat fase basah, yakni di periode Desember-Januari-Februari (DJF).
Deni juga menjelaskan ada beberapa hal juga yang menyebabkan awan berkembang yang berkorelasi dengan tingkat sambaran petir, mulai dari Monsun hingga suhu permukaan laut.
"Berbagai fenomena meteorologi seperti Monsun, ENSO (Lanina), Madden Julian Oscillation (MJO) Indian Ocean Dipolemode (IOD), Sea Surface Temperature (SST) menjadi pendorong bagi potensi tumbuh berkembang awan di sekitar BMI," ujar Deni.
"Disamping tentunya berbagai perturbasi (gangguan) skala sinoptik dan meso yang menginisiasi pertumbuhan awan konvektif," imbuhnya.
Lebih lanjut, Deni memaparkan peta sambaran dibuat untuk melihat karakteristik sambaran petir di suatu wilayah.
Peta tersebut menunjukkan historis data sejauh mana petir menyambar pada radius atau area dalam waktu tertentu baik itu bulanan dan tahunan.
"Atas peta yang telah dibuat, berbagai klasifikasi bahaya dapat dirumuskan baik dampaknya pada masyarakat maupun tata kota yang tentunya mempertimbangkan sejauhmana petir menyambar pada area tersebut," tutur Deni.
(lom/arh)