
Cara Saintifik buat Ungkap Pemilik Jari dalam Sayur Lodeh di NTT

Mengungkap identitas bagian tubuh manusia yang sudah tidak utuh, baik dalam kasus kecelakaan maupun pembunuhan, kerap menyulitkan. Proses identifikasi forensik yang mencakup antemortem dan postmortem pun bisa ditempuh.
Diberitakan, potongan jari manusia ditemukan dalam sayur lodeh oleh dua warga di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (12/12).
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Belu Iptu Djafar Awad Alkatiri menuturkan tim dokter Puskesmas mengonfirmasi bahwa potongan jari tersebut adalah jari manusia.
"Sudah dikonfirmasi dari pihak kedokteran Puskesmas itu mereka menyatakan itu jari manusia dan itu identik," katanya.
Untuk mengungkap identitas pemiliknya, saat ini polisi telah memeriksa lima orang saksi yang telah dimintai keterangan terkait penemuan potongan jari manusia di sayur lodeh tersebut.
Di luar pemeriksaan saksi, dunia forensik menyediakan teknik yang saintifik untuk mengidentifikasi secara konkret bagian tubuh manusia.
Caranya, aparat perlu mengumpulkan data antemortem (sebelum kematian) dan postmortem (pasca-kematian). Setelah data terkumpul, pihak kepolisian dapat mencocokkan data tersebut (rekonsiliasi).
"Apabila kedua data tersebut (antemortem dan postmortem) cocok, maka identitas korban akan lebih mudah diketahui. Apabila keduanya belum cocok maka akan diulangi kembali pengambilan data tersebut." Jika dua datanya ini tidak ada, pasti korban tidak bisa teridentifikasi," ujar mantan Kepala Lab DNA Pusat Kedokteran dan Kesehatan Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri Putu T. Widodo, dikutip dari situs Universitas Gadjah Mada (UGM).
Proses identifikasi semacam ini biasa dilakukan dalam bencana atau kecelakaan yang biasa disebut Disaster Victim Identification (DVI). Misalnya, dalam identifikasi korban kecelakaan pesawat Sriwijaya Air bernomor penerbangan SJ 182, 2021.
Dikutip dari situs resminya, kepolisian internasional atau Interpol mulai menerbitkan Pedoman DVI sejak 1984. Panduan ini diperbarui setiap lima tahun dan merupakan standar unik yang diterima secara global untuk protokol DVI.
Pada prinsipnya ada empat langkah untuk identifikasi, yakni:
1. Pemeriksaan tempat kejadian perkara: bergantung pada kejadiannya dan lokasinya, pemulihan atau pengumpulan semua korban dan barang-barangnya dapat memakan waktu berhari-hari hingga berminggu.
2. Data post-mortem: jenazah diperiksa oleh spesialis untuk mendeteksi bukti forensik untuk membantu mengidentifikasi korban. Data ini dapat mencakup:
- Sidik jari
Jika tersedia, data ini sangat bisa diandalkan. Namun, karena sebagian besar sidik jari warga tidak tercatat, data ini punya batasan. Widodo mengungkapkan tim forensik sulit mendapatkan data sidiki jari korban yang masih di bawah 17 tahun. Pasalnya, usia ini belum memiliki KTP.
- Odontologi atau pemeriksaan gigi
Gigi memang memberikan salah satu bentuk identifikasi yang paling baik karena sangat tahan lama dan kebanyakan orang memiliki catatan gigi. Meski begitu, Widodo menyebut tidak semua dokter selalu menyimpan rekaman gigi pasiennya.
"Sulit mendapatkannya," aku dia.
- DNA
Data ini bisa didapat dari perbandingan langsung dapat dibuat dari korban dan data DNA yang diambil dari kediaman mereka, misalnya rambut dari sisir di rumah.
Peneliti Genetika dan Forensik dari Fakultas Biologi UGM Niken Saputri Nur Handayani menilai identifikasi korban melalui data DNA bisa juga diambil dari keluarga terdekat yakni orang tua, anak atau saudara kandung.
"Profil DNA dari keluarga dekat besar kemungkinan mendekati kemiripan, beda dengan keluarga jauh," ujarnya.
Niken mengatakan sampel DNA korban yang paling bagus bisa diambil dari jaringan otot lengan, tulang, atau gigi geraham. Pasalnya, bagian-bagian ini tidak banyak terpapar dari lingkungan luar.
Sementara dari pihak keluarga, sumber DNA diambil dari bagian tubuh jaringan yang memiliki sel inti, yakni sel darah putih.
Widodo menambahkan DNA bisa diambil dari barang-barang yang merupakan milik korban.
"Yang dibawa maupun ditinggalkan oleh si korban diambil datanya, siapa tahu properti ini mengandung DNA, misalnya baju yang belum dicuci di rumah, banyak sumber DNA. Bahkan, bisa diambil DNA dari kerah baju yang belum dicuci," katanya.
- Tanda-tanda fisik, seperti tato, bekas luka, atau implan bedah yang mungkin khas bagi korban.
- Identifikasi visual tidak dianggap akurat.
3. Data ante-mortem: catatan gigi dan medis, sidik jari, dan DNA diambil dari rumah korban atau disediakan oleh anggota keluarga.
4. Rekonsiliasi: setelah data postmortem dan antemortem dikumpulkan, tim ahli membandingkan dan merekonsiliasi kedua informasi tersebut untuk mengidentifikasi para korban.
Dalam konteks kasus jari dalam sayur lodeh, pemeriksaan dapat dilakukan lewat data DNA dan sidik jari. Tentunya, selama ada data pembanding berupa DNA dari pihak yang diduga sebagai keluarga kandung dan data sidik jari di Kependudukan dan Catatan Sipil.
(lom/arh)