Penggunaan artificial intelligence (AI) di dunia militer dan persenjataannya yang mematikan memicu pertanyaan, apakah kecerdasan buatan akan menjadi sahabat atau musuh bagi manusia?
AI sebelumnya mulai sering digunakan di sektor teknologi oleh perusahaan besar semisal Amazon dan Google. Sensasi terbaru adalah ChatGPT, yang memiliki AI dengan kemampuan menyusun tulisan selevel akademik.
Di bidang militer, mengutip laporan Rand Corporation berjudul Military Applications of Artificial Intelligence, AI dibutuhkan untuk "menyediakan bantuan robotik di medan pertempuran, yang dapat membuat pasukan mempertahankan atau melebarkan kapasitas tempur, tanpa perlu meningkatkan jumlah pasukan".
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga :![]() 101 SCIENCE Apakah Jam Bisa Ngaret? |
Secara singkat, sistem robotik akan mengerjakan tugas yang dianggap kasar atau terlalu berbahaya untuk manusia. Tugas-tugas itu antara lain memberi pasokan untuk pasukan, pembersihan ranjau, atau pengisian bahan bakar pesawat di udara.
Angkatan Udara AS (USAF) misalnya yang menerbangkan jet tanpa awak sebagai 'Loyal Wingman' untuk mendampingi jet yang dikemudikan manusia. Jet nirawak itu bertugas untuk melawan musuh, menuntaskan misi, atau membantu pilot melakukannya.
Lebih jauh, penggunaan AI di militer juga ada di sektor pengumpulan data intelijen. Sebuah drone nirsenjata Global Hawk mampu melaksanakan perintah yang diberikan secara independen tanpa bergantung kepada tautan data yang rentan.
Kemampuan itu membuat Global Hawk mampu dikirim ke teritorial udara yang padat untuk mengumpulkan informasi penting.
Alhasil, mengutip Al Jazeera, banyak negara kini mengalokasikan lebih banyak uang ke dalam sistem baru yang bisa menerbangkan armada tanpa dikendalikan manusia seperti drone Dasault Neuron milik Prancis, dan Sukhoi S70 kepunyaan Rusia.
Di sisi lain, AI bahkan sudah pernah mencetak skor lebih tinggi dalam simulasi pertempuran jarak dekat (dogfight). Di bidang pelacakan target, AI juga dapat membantu melacak target dalam operasi khusus semisal kontra-terorisme menggunakan basis data yang besar.
Mengutip Digital Journal, pengaplikasian AI di sektor pertahanan meningkat setelah pandemi Covid-19. Hal tersebut bisa dilihat dari sisi permintaan maupun pasokan dari beberapa perusahaan besar seperti IBM, Lockheed Martin, Raytheon Technologies, BAE Systems dan Northrop Grunman.
"Perusahaan-perusahaan itu terus berinvestasi jor-joran dalam mengembangkan kemampuan AI dan para pemerintahan terus berinvestasi secara signifikan dalam membeli teknologi tersebut," tulis laporan riset The Insight Partners.
Terlepas dari kecanggihan teknologinya, sejumlah pengamat mengkhawatirkan penggunaan AI terutama dalam pertempuran yang terjadi di kota. Pasalnya, AI tak mengerti soal Hukum Konflik Bersenjata (Laws of Armed Conflict).
Selain itu, AI juga dianggap punya pandangan sempit tentang dunia sehingga mereka gagal menavigasi konflik di dalam kota. Alhasil, para ahli khawatir armada tempur berteknologi AI akan menjadi 'robot pembunuh'.
Tingkat kekhawatiran pun terbilang tinggi hingga membuat Human Right Watch meminta larangan penggunaan penuh AI otomatis untuk membuat keputusan krusial. Mereka ingin adanya larangan serupa terhadap hal tersebut, seperti larangan terhadap penggunaan senjata biologis dan kimiawi.
Kekhawatiran lain adalah terhadap kemungkinan adanya peretasan terhadap AI dan penyusupan malware ke dalamnya. Salah satu contohnya pernah terjadi 10 tahun lalu ketika senjata siber Stuxnet menyusup ke perangkat lunak pengontrol pusat uranium di Iran.
Stuxnet dapat bersembunyi dan menyamarkan jejak. Ia lalu mencari semacam kode penyerangan yang menyebabkan sentrifugal di sana berputar lepas kontrol dan hancur.
Human Rights Watch pun mendesak pelarangan unit AI yang sepenuhnya otonom yang mampu membuat keputusan mematikan, penempatan ranjau, serta peluncuran senjata kimia dan biologi.
Kekhawatiran utama lainnya adalah bahwa mesin dapat diretas dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh manusia.
Pasukan manusia bisa saja memberontak dan mengubah kesetiaan mereka. Namun, mengubah kesetiaan pasukan hanya dengan menekan tombol adalah potensi yang menakutkan bagi militer.
Dan, perangkat lunak juga bisa salah. Bayangkan ketika dalam pertempuran ada tulisan di layar, "maaf, ada kesalahan sistem". Ngeri!
(lth/arh)