Kerap mengumbar janji saat berkampanye alias nyalon serta bicara tak sesuai fakta jadi fenomena umum banyak oknum politikus di berbagai negara. Mengapa demikian?
Misalnya, ada yang berkoar ingin membuat transportasi umum namun saat menjabat malah mengutamakan rumah ibadah amat mahal di lokasi yang tak kekurangan tempat ritual.
Ada pula politikus yang menyebut banjir bakal lebih mudah diatasi jika sudah menjadi pimpinan negara, namun itu tak terjadi saat keinginannya terwujud.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak ketinggalan, ada politikus yang menentang pulau reklamasi saat kampanye, namun ujung-ujungnya malah merestui pemakaian pulau tersebut.
Profesor Psikologi Kognitif Ullrich Ecker dan Postdoctoral Research Associate Toby Prike mencoba mengulasnya dalam tulisan di The Conversation berjudul We know politicians lie - but do we care?.
Dalam tulisannya itu, kedua pakar menilai berbohong adalah perbuatan sehari-hari. Mengutip dari studi di Massachusetts Institute of Technology (MIT), rata-rata seseorang berbohong sebanyak dua kali dalam satu hari.
Menurut Ecker dan Prike, orang yang terlalu jujur biasanya menempatkan diri dalam situasi yang canggung.
Maka dari itu, sebagian besar kebohongan tidak berdampak besar dan berfungsi hanya untuk menghindari kecanggungan, membantu orang membuat kesan yang baik, atau membuat orang lain merasa senang.
Pada kasus politikus, peneliti menyebut kebohongan digunakan untuk "membangun keyakinan palsu dan mengumpulkan dukungan".
"Informasi palsu dapat memengaruhi pemikiran orang bahkan setelah mereka menyadari bahwa informasi tersebut salah," kata peneliti.
Senada, Robert Feldman, psikolog dari University of Massachusetts, menilai manusia sudah punya kemampuan alami untuk berbohong.
Ia mengklaim manusia dilatih untuk menipu. "Jika kita tidak, jika kita benar-benar selalu jujur setiap waktu itu bukan hal bagus. Akan ada hal yang ditanggung untuk itu," kata dia.
Robert juga mengatakan "kebohongan yang kita terima dari para politisi sekarang adalah hal yang diterima karena itulah yang ingin kita dengar, seperti ketika pasangan Anda bilang, pakaian Anda keren."
Senada, Profesor Psikologi dan Perilaku Ekonomi di Duke University, Dan Ariely, mengatakan, "Orang-orang ingin mendengar politisi berbohong."
"Anda mengerti bahwa Washington (pusat pemerintahan AS, red) adalah tempat kotor dan berbohong adalah hal yang sangat membantu agar kebijakan Anda diterapkan," lanjutnya, dikutip dari CBS News.
Kenapa kebohongan, terutama pada ranah politik, cenderung berulang?
Dikutip dari Associated Press, Periset Psikologi dari University of California Bella DePalo menyebut berbohong adalah tindakan menular dan candu.
Dalam emailnya, Bella merasa "lebih khawatir tentang berbohong di masyarakat (terutama oleh para politisi, dan terkhusus, Trump) daripada sebelumnya. Ketika satu kebohongan sukses, mereka akan cenderung mengulanginya lagi. Berbohong punya efek jangka panjang, bahkan ketika hal itu berhasil dibongkar."
Saat politikus berbohong yang tak cuma kebohongan yang positif (white lie), kata Simon Gaechter, pakar dari University of Nottingham, mereka berusaha keras untuk membenarkan dan merasionalisasi apa yang mereka lakukan.
"Ketidakjujuran itu menular," kata dia.
Salah satu contoh politikus yang banyak berbohong, kata Ecker dan Prike, adalah mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Dia diketahui membuat lebih dari 30 ribu kebohongan atau klaim yang menyesatkan selama 4 tahun masa kepemimpinannya. Jika dibagi, angka tersebut mencetak rata-rata 20 kebohongan per hari.
Sayangnya, hal itu tidak memengaruhi para pemilih Trump.
Dalam sebuah studi berjudul Processing political misinformation: comprehending the Trump phenomenon, pemilih diberikan sejumlah fakta dan kebohongan yang dilontarkan Trump pada Pemilu 2016.
Lihat Juga :101 SCIENCE Semirip Itukah Manusia dan Kera? |
Pemilih diberitahu bahwa sejumlah pernyataan adalah kebohongan setelah dilakukan cek fakta.
Meski para pendukung Trump menjadi lebih skeptis terhadap pernyataan-pernyataan tersebut, hal ini tidak mengubah niatan mereka untuk memilih Trump.
Fenomena yang sedikit berbeda terjadi di Australia. Beberapa pemilih mulai mengurangi dukungan mereka terhadap politikus yang terindikasi sering berbohong.
Di Australia sendiri, politikus masuk ke dalam deret profesi yang paling tidak dipercaya masyarakat.
(lom/lth)