
Menerka Akhir Cerita Dominasi Google usai 2 Hantaman Besar

Raksasa teknologi Google tengah dihantam oleh gugatan terbaru Pemerintah Amerika Serikat (AS) soal dugaan monopoli iklan dan kehadiran ChatGPT. Mungkinkah ini jadi akhir cerita dominasi perusahaan pimpinan Sundar Pichai itu?
Departemen Kehakiman AS mengklaim selama lebih dari 15 tahun Google menjalankan monopoli ilegal dalam bisnis periklanan daring. Kasus ini muncul beberapa tahun setelah rezim Trump mengajukan gugatan serupa.
Google mengatakan Departemen Kehakiman "menggandakan argumen yang cacat" dan gugatan terbaru itu "berusaha untuk memilih siapa menang dan kalah di sektor teknologi periklanan yang sangat kompetitif."
Dikutip dari CNN, Google akan jadi perusahaan iklan paling kuat sejagat jika memenangkan pertarungan di meja hijau. Namun, proses penuntasan persidangannya bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Di luar itu, dua masalah pelik lain bisa menentukan masa depan Google dalam jangka waktu yang lebih pendek; kemunculan kecerdasan buatan terbaru yang bisa mendegradasi pasar iklan Google.
Beberapa minggu lalu Google mengumumkan rencana untuk memangkas 12 ribu karyawan di tengah penurunan pendapatan yang dramatis dalam pertumbuhan pendapatannya. Kini perusahaan tengah memfokuskan kembali upaya di sektor kecerdasan buatan (AI).
Kendati mesin pencari Google saat ini masih merajai jagat maya, para pengamat melihat ada pesaing ketat yang boleh jadi mengancam dominasi perusahaan.
Akhir 2022, OpenAI, perusahaan riset bidang kecerdasan buatan, merilis chatbot yang viral dengan nama ChatGPT.
Pengguna ChatGPT memamerkan kemampuan bot untuk membuat puisi, menyusun dokumen hukum hingga menjelaskan ide-ide rumit cuman dengan perintah sederhana.
Layanan itu bisa menghasilkan jawaban panjang saat diberikan pertanyaan meskipun masih ada beberapa kesalahan.
Sementara, pencarian jawaban via Google hanya menghasilkan jawaban dengan berbagai referensi situs.
ChatGPT dilatih lewat sejumlah database besar untuk menghasilkan respons terhadap permintaan pengguna. Lewat platform itu membuat potensi teknologi dapat langsung dipahami oleh jutaan orang.
Hal ini mendorong manajemen Google untuk menyatakan situasi kode merah alias red code untuk bisnis mesin pencarinya.
"Google mungkin hanya berjarak satu atau dua tahun dari gangguan total. AI akan menghilangkan Halaman Hasil Mesin Pencari, di mana mereka menghasilkan sebagian besar uang mereka," kata Paul Buchheit, salah satu pembuat Gmail.
Jika lebih banyak pengguna mulai mengandalkan AI untuk kebutuhan informasi, hal itu dapat melemahkan iklan Google, yang merupakan bagian dari segmen bisnis senilai US$149 miliar di perusahaan tersebut.
Meski Google bisa 'ketar-ketir', perusahaan teknologi itu belum bisa dianggap sebagai pesaing ketat. Dalam hal total pengguna, Google pada November melaporkan menerima 86 miliar kunjungan.
Angka yang jelas kontras jika dibandingkan dengan pengunjung platform ChatGPT yang hanya menghasilkan kurang dari 300 juta pengunjung pada November, menurut laporan SimilarWeb.
Google memiliki investasi sendiri dalam kecerdasan buatan yang canggih. Salah satu program obrolan yang digerakkan oleh AI, LaMDA, bahkan menjadi titik terang bagi perusahaan dalam menjalankan produk teknologi berbasis AI.
Dikutip dari CNBC, Sundar Pichai dilaporkan memberitahu karyawan bahwa Google punya kemampuan yang mirip dengan ChatGPT. Namun perusahaan belum berkomitmen memberikan pencarian yang dihasilkan AI karena risiko memberikan informasi yang tidak akurat.
(can/arh)