Jakarta, CNN Indonesia --
Sebuah kicauan soal prediksi gempa Turki terkait posisi planet viral di media sosial. Para ahli gempa bumi pun ramai-ramai menepis sains palsu (pseudoscience) ini.
Sebelumnya, akun Frank Hoogerbeets, Jumat (3/2), berkicau soal prediksi gempa berkekuatan Magnitudo 7,5 di Turki, Yordania, dan Lebanon.
"Cepat atau lambat akan ada ~M 7.5 #gempa bumi di wilayah ini (Turki Selatan-Tengah, Yordania, Suriah, Lebanon)," kicaunya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gempa dengan M 7,8 kemudian mengguncang Turki dan Suriah pada Senin (6/2). Hoogerbeets menyebut kejadian ini sesuai dengan prediksinya. Selain itu, ia mengaitkan bencana alam tersebut dengan tata letak planet di angkasa.
"Hati saya berduka pada semua orang yang terkena dampak gempa bumi besar di Turki Tengah. Seperti yang saya nyatakan sebelumnya, cepat atau lambat ini akan terjadi di wilayah ini, mirip dengan tahun 115 dan 526. Gempa bumi ini selalu didahului oleh geometri planet yang kritis, seperti yang kita alami pada 4-5 Februari," ujarnya.
Unggahan itu pun dibantah oleh Martijn van den Ende, ahli seismologi dari Université Côte d'Azur, Prancis, di kolom komentar.
"Setiap orang yang membaca 'prediksi' ini, tolong jangan tertipu. Gempa bumi tidak dipicu oleh tata letak planet, dan tidak ada metode ilmiah untuk memprediksi gempa bumi," kicau dia, Senin (6/2).
"Silakan berkonsultasi dengan seismolog sungguhan jika Anda punya pertanyaan," tambahnya.
Tak banyak informasi yang dapat ditemukan soal Hoogerbeets. Pada profil Twitter-nya, ia mengaku sebagai peneliti dari Survei Geometri Tata Surya (SSGEOS).
SSGEOS mengklaim sebagai lembaga penelitian untuk memantau geometri antara benda langit yang terkait dengan aktivitas seismik.
Mereka mengklaim menemukan petunjuk pertama geometri atau pola tertentu di Tata Surya dapat memicu gempa bumi besar pada insiden 23 Juni 2014.
Saat itu, tiga gempa berkekuatan Magnitudo 6 di selatan Pasifik, diikuti oleh tiga gempa lagi di utara Pasifik yang puncaknya berkekuatan M 7,9, yang semuanya terjadi dalam beberapa jam.
"Dengan menggunakan perangkat lunak simulasi Tata Surya, tampak sekitar tanggal 23 Juni 2014 enam benda langit terlibat dalam konjungsi planet yang menyatu menjadi segitiga dekat," klaim SSGEOS.
Pakar buktikan Hoogerbeets cuma sains palsu di halaman berikutnya...
Teori tak berbasis sains ala Hoogerbeets ini pun menuai reaksi dari komunitas ilmiah. Para ahli mempertanyakan validitas "prediksi" dan dasar ilmiah yang mendasari metodologi kelompok tersebut.
Berikut beberapa kesalahan logika ramalan ini:
1. Bukan prediksi
Roger Musson, mantan Kepala Bahaya dan Arsip Kegempaan di British Geological Survey, menjelaskan kicauan Hoogerbeets soal "cepat atau lambat" tak termasuk prediksi.
"Sebuah prediksi harus menyatakan waktu, tempat, dan besarnya. 'Cepat atau lambat' bukan merupakan [keterangan] waktu. Jadi dia tidak memprediksi gempa," ucapnya, yang punya pengalaman lebih dari 35 tahun di bidang seismologi itu, dikutip dari Newsweek.
Senada, David Rothery, Profesor Planetary Geosciences di Open University, mengatakan tak ada nilai prediksi dari kicauan Hoogerbeets itu.
"Saya dapat mengatakan bahwa 'cepat atau lambat' akan ada gempa M 7 di setengah patahan Anatolia Timur yang tidak bergerak hari ini. Saya benar, tetapi itu tidak ada nilainya sebagai prediksi," cetusnya.
2. Tarikan planet tak sekuat itu
David Rothery juga menyatakan pengaruh perubahan posisi planet terhadap Bumi sangat kecil.
"Gaya pasang surut di dalam Bumi yang dihasilkan dari perubahan geometri terkait dengan planet lain amat kecil dan rendah di antara kebisingan," kata dia.
Menurutnya, Bulan justru lebih berpengaruh terhadap gaya pasang surut di dalam Bumi dan lebih mungkin menjadi "pemicu langsung gempa bumi".
"Meskipun demikian, yang akan mereka (gaya tarik Bulan) lakukan hanyalah bertindak sebagai 'keremehan pamungkas'; memulai gempa yang akan terjadi karena efek jangka panjang [yakni] penumpukan ketegangan yang sudah mendekati ambang kritis," paparnya.
3. Banjir tebakan
Jika dilihat dari waktu kicauan, 'prediksi' Hoogerbeets hanya terjadi beberapa hari sebelum gempa Turki terjadi.
Masalahnya, feed Twitter Hoogerbeets dan SSGEOS menampilkan prediksi serupa yang tak terhitung jumlahnya di berbagai tempat. Banyak di antaranya tak terbukti.
[Gambas:Infografis CNN]
Hoogerbeets pernah membuat ramalan serupa tentang gempa besar berkekuatan di atas Magnitudo 8 pada akhir Desember 2018.
Prediksi tersebut dibantah oleh para ahli, termasuk seismolog Australia, yang mengatakan bahwa "penyelarasan planet tidak berdampak pada gempa bumi". Ahli itu menambahkan bahwa "lebih banyak tarikan gravitasi dari pesawat terbang [daripada perubahan posisi planet]."
Berdasarkan catatan, tidak ada gempa bumi dengan "magnitudo tujuh hingga delapan" yang tercatat di mana pun di planet ini pada hari dan pekan berikutnya sejak ramalan itu.
Gempa terkuat hadir di Filipina dengan magnitudo 7,0 pada 29 Desember, jauh dari skala yang diprediksi.
Setidaknya puluhan lindu sendiri terjadi tiap hari di seluruh dunia. Dengan melempar banyak klaim dalam bungkus 'prediksi', bukan tidak mungkin satu ramalan bisa tepat sasaran.
"Setelah gempa bumi, kami melihat banyak orang mengklaim telah memprediksinya, meskipun serangkaian kegagalan [prediksi] sebelumnya," kata Ilan Kelman, profesor di UCL Institute for Risk and Disaster Reduction.
4. Nihil teknologi prediksi gempa
Konsensus atau kesepakatan ilmiah saat ini adalah bahwa tidak ada metode yang terbukti dan andal yang secara akurat memprediksi gempa, termasuk melalui pengamatan planet.
Kelman mengatakan para seismolog memang bisa memprediksi di mana gempa bumi akan terjadi.
"Karena kami telah melakukannya dengan baik dalam memetakan garis patahan, tetapi tidak [bisa prediksi] kapan [itu terjadi], terutama tidak [saat] jauh sebelumnya," ujar dia.
[Gambas:Photo CNN]
"Saya tidak dapat menemukan publikasi ilmiah peer-review (yang sudah lewat proses tinjauan sejawat) mengenai dugaan metode prediksi ini, kehati-hatian disarankan dalam menerimanya sebagai metode yang valid, sambil melanjutkan penyelidikan di banyak jalur," jelas Kelman.
Bill McGuire, Profesor Geophysical & Climate Hazards di University College London, mengatakan banyak klaim soal teknologi prediksi gempa, tetapi "tidak ada bukti bahwa ada orang yang pernah meramalkan gempa bumi."
Ia menyebut beberapa indikasi ilmiah soal tanda gempa yang sudah diteliti, misalnya, tingkat air di sumur, emisi gas radon, hingga perubahan sifat magentik batuan.
"Tetapi seringkali tidak [didahului tanda-tanda itu]. Dan terkadang, tanda-tanda seperti itu terjadi ketika tidak ada gempa."
"Intinya adalah prediksi gempa saat ini TIDAK memungkinkan. Dan mungkin tidak akan pernah terjadi," simpul McGuire.