Gunung bawah laut di perairan Pacitan, Jawa Timur, tak terbentuk kemarin sore. Ia butuh proses rumit dan lama hingga puluhan juta tahun yang melibatkan berbagai lempeng tektonik di selatan Jawa.
Sebelumnya, Badan Informasi Geospasial (BIG) menemukan gunung bawah laut di perairan Pacitan saat sedang melakukan survei Landas Kontinen Ekstensial di perairan selatan Kabupaten Pacitan, Jawa Timur pada koordinat 111,039 BT dan 10,661 LS.
Tingginya mencapai 2.200 meter, berada di kedalaman sekitar 6.000 meter, dengan puncak pada 3.800 meter di bawah permukaan laut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana gunung ini bisa terbentuk?
Dosen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman, Selasa malam (14/3) dikutip dari situs ITB, mengungkapkan gunung api yang berada di Pulau Jawa sangat erat kaitannya dengan subduksi yang ada di sebelah selatannya.
Zona subduksi (subduction zone) sendiri merupakan batas lempeng yang berupa tumbukan dengan salah satu menyusup ke dalam perut bumi dan lempeng lainnya terangkat ke permukaan.
Menurut Mirzam, subduksi dimulai kurang lebih sejak 55 juta tahun lalu. Ini menghasilkan magmatisme yang muncul ke permukaan sebagai gunung api yang terbentang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur.
"Secara sederhana orang akan berpikir bahwa gunung api akan selalu memanjang dari barat ke timur. Namun, distribusi gunung api tersebut tidak sepenuhnya membentuk garis lurus," demikian dikutip dari keterangan itu.
Ia, yang juga menjabat Kepala Program Studi Magister Doktor Teknik Geologi tersebut, menyatakan kemunculan gunung di selatan Pacitan ini merupakan efek kompleksitas zona subduksi di selatan.
Kompleksitas ini berasal dari beberapa hal. Yakni, laju subduksi yang mencapai 6,7 - 7 cm per tahun, perbedaan umur lempeng yang memasuki 3 bagian Pulau Jawa, hingga komposisi kerak lapisan terluar Pulau Jawa yang berbeda.
Selain itu, lanjutnya, ada fenomena Roo Rise atau oceanic plateu (dataran tinggi di lautan). Luasnya kira-kira 25 ribu km2 dengan ketebalan rata-rata 15 km.
Hal tersebut menyebabkan palung mundur ke arah utara sejauh 60 km. Mundurnya palung ini merupakan akibat dari masuknya Roo Rise ke Palung Jawa sejak 1,1 atau 1,3 juta tahun lalu.
"Masuknya Roo Rise ke palung menimbulkan gangguan yang memunculkan tonjolan dari Jatim hingga selatan Lombok yang diinterpretasikan sebagai gunung bawah laut (Pada gambar di bawah ini ditunjukkan oleh nomor 1-5)," ungkap keterangan Mirzam tersebut.
![]() |
Mengutip jurnal berjudul 'The Java margin revisited: Evidence for subduction erosion off Java' yang terbit 2006, Mirzam mengungkapkan pada jalur tersebut sebenarnya ada lima hingga 10 'tonjolan' bawah laut serupa di sekitar gunung bawah laut Pacitan itu.
"Nah, jadi yang sedang hangat dibicarain itu adalah nomor 4," kata Mirzam, "Sebenarnya tonjolan-tonjolan ini udah teridentifikasi sejak 2006 silam."
Ia mengungkap Roo Rise yang masuk ke dalam palung akan terkerat sebagian. Sebagian lempeng (slab) yang bertemu lempeng di Pulau Jawa akan menimbulkan bagian Roo Rise yang timbul (buoyant roo rise fragment).
Hal ini, kata Mirzam, menimbulkan tonjolan dan membuat sebagian lempeng masuk ke dalam. Sebagian slab yang masuk akan menentukan bahaya atau tidaknya gunung tersebut.
Ia menuturkan slab yang masuk masih cukup dangkal (10-15 km). Itu menyebabkan "gunung api" di Pacitan ini tidak seperti potensi gunung api yang aktif di Pulau Jawa pada umumnya.
"Slab yang masuk baru mulai meleleh itu bukan pada kedalaman 10-15 km. Ini bukan tempat yang ideal. Kedalaman ideal lempeng samudera meleleh pada kedalaman 120-180 km seperti gunung di Pulau Jawa lainnya," tutur dia.
Ciri-ciri yang menunjukkan gunung api, seperti keberadaan panas, merupakan akibat dari tumbukan dua buah lempeng di zona akresi (area hasil tumbukan lempeng yang menunjam ke bawah Bumi).
"Jadi secara teoritis, harusnya [gunung bawah laut Pacitan] itu posisinya bukan gunung api yang definitif kita pelajari, tapi ini morfologinya seperti kerucut gunung api, karena tadi adanya gangguan, panasnya dari collision, tumbukan, yang menghasilkan panas," jelasnya.
Meskipun peluang gunung tersebut untuk meletus kecil, Mirzam tetap mewanti-wanti soal potensi bencana non-vulkanik. Baginya, gundukan tinggi ini bisa menjadi sesuatu yang tidak stabil dan mengakibatkan longsor di bawah laut.
Jika volumenya besar maka akan mengganggu kesetimbangan kolom air laut.
"Ketidakstabilan lereng bisa sangat terjadi jika terjadi seismik gap, hal ini juga di-state di paper tersebut," tandas dia.
(tim/arh)