Lalu, kenapa Kuntilanak menghantui masyarakat hingga saat ini?
Menurut 'teori monster' Cohen (1996), 'monster selalu melarikan diri untuk kembali ke tempat tinggalnya di pinggiran dunia'. Monster itu selalu kabur-dalam kasus Kuntilanak-ke pedalaman Kalimantan, berdiam di pinggiran, dan mengancam untuk kembali.
Kengerian Kuntilanak berasal dari pelariannya dan potensinya untuk kembali. Kuntilanak memang muncul sebagai kebalikan dari masyarakat. Namun, dia menunjukkan karakteristik manusia dan karenanya lolos dari urutan klasifikasi (biner manusia/non-manusia).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Mengutip antropolog Andrew Johnson, ketakutan terhadap hantu di kota berasal dari kegelisahan tentang modernitas. Seperti di Pontianak; modernitas bertumpu pada rasa takut terhadap Kuntilanak, dan sebaliknya Kuntilanak adalah ekspresi modernitas.
Duile menyebut dengan mengusir Kuntilanak, tempat yang tadinya tidak dapat dihuni menjadi dapat dihuni dan dapat diatur. Alhasil, alam yang dulunya dihuni makhluk halus, berubah menjadi sumber bagi tegaknya peradaban Melayu. "Manusia menjadi penguasa atas alam."
Namun, rasionalitas di sini datang dengan agama: meriam Sultan menggambarkan teknik (rasionalitas) dan kekerasan yang dibutuhkan modernitas untuk menyingkirkan roh gentayangan.
Di satu sisi, kengerian Kuntilanak membutuhkan kesucian sebagai lawannya. Di sisi lain, kesucian membutuhkan kengerian Kuntilanak sebagai landasannya.
Lihat Juga : |
"Rasionalitas yang menyertai Islam memang memberikan cara memandang alam sebagai sumber daya, dalam artian kuntilanak digusur dan dapat dijauhkan melalui pertunjukan-pertunjukan keagamaan."
Namun, kengerian Kuntilanak membuktikan penyesalan yang terkubur di alam bawah sadar kolektif. Buktinya, popularitas Kuntilanak yang luar biasa di seluruh ranah Melayu.
"Di Pontianak, Kuntilanak hadir justru melalui ketidakhadirannya. Dia adalah ancaman-yang-tak-ada-di sini dan karena itu dia berarti. Horor muncul melalui gagasan bahwa jarak antara dirinya dan komunitas manusia tidak pasti," jelasnya.
Duile menyebut bukan kebetulan Kuntilanak menyebar hingga ke seluruh Indonesia dan menjadi hantu favorit dalam novel dan film horor.
Baginya, itu terkait pula dengan urusan politik; paradigma pembangunan selama era Soeharto. Bahwa, alam hanya menjadi sumber daya untuk pembangunan (Arnscheidt 2009:117-24).
Namun, rasionalitas paradigma pembangunan membutuhkan konsep alam sebagai sisi lain yang menakutkan dari masyarakat, karena gagasan pembangunan membutuhkan legitimasi dominasi laki-laki atas alam.
Dulu, proyek Indonesia didasarkan pada gagasan masyarakat yang adil dan inklusif bagi semua warga negara, dan kemajuan dipandang sebagai alat untuk mencapai kehidupan yang baik bagi semua warga negara.
Masalahnya, Orde Baru tidak memiliki rasionalitas dalam hal pembangunan; ada isu ketidakadilan, korupsi, kekerasan, dan kemiskinan meskipun ada pertumbuhan ekonomi yang besar.
Lihat Juga :101 SCIENCE Apakah Jam Bisa Ngaret? |
"Irasionalitas dalam kerangka rasional pembangunan ini terus hidup di Indonesia yang demokratis, dan kembali menjadi salah satu wacana utama dalam politik," ujarnya, menukil penelitian Warburton (2016).
"Masyarakat mencerminkan irasionalitasnya sendiri dalam narasi tentang orang lain. Kuntilanak dengan demikian mewujudkan ketakutan dan irasionalitas tidak hanya tentang perempuan, tetapi juga alam sebagaimana dikontekstualisasikan dalam modernitas Indonesia."
"Saat alam dan masyarakat tidak berdamai, Kuntilanak akan terus menghantui nusantara," tandas Duile.
(lth/arh)