Nasib riset Drone Elang Hitam (PUNA), yang pernah digadang-gadang jadi prioritas oleh Presiden Jokowi, dipertanyakan usai peralihan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ke Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko menjelaskan riset drone Elang Hitam (PUNA) terpaksa harus dihentikan lantaran dalam iklim riset tidak boleh disertai embel-embel militer.
"Ini kan riset ya, kita bukan bikin pesawat, kita bikin riset untuk sistem pesawat tanpa awak yang terbaik, termurah, teringan dan seterusnya. Dalam proses riset kita tidak boleh bawa yang namanya militer. Kata-kata militer itu haram," ujar dia di kantornya, Jakarta, Jumat (10/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu masuk militer, kata Handoko, pemerintah bisa berpotensi kena safeguard alias tindakan pengamanan saat hendak membeli komponen yang diperlukan untuk kepentingan riset dari luar negeri.
Hal itu berkaca pada saat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sempat mengembangkan teknologi radar pelacak beberapa tahun lalu. Indonesia sempat diboikot Amerika Serikat (AS) selama dua tahun karena riset terendus untuk kegiatan militer.
"Boro-boro dapat komponen, akses saja ditutup. Kita sudah pernah mengalami itu, itu kasus riset radar waktu saya di LIPI. Kita diboikot AS 2 tahun. Repot kita, kalau diboikot AS diboikot negara lain (juga) karena satu rantai supply chain," tuturnya.
Namun demikian ia sudah berkomunikasi dengan panglima TNI dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto atas kelangsungan riset PUNA.
Jika pesawat nirawak itu hendak dikembangkan dan diproduksi untuk tujuan militer, maka Handoko mengaku siap untuk memberikan informasi model.
Ia menjelaskan PUNA masih sebuah riset dan bukan merupakan desain yang dikhususkan untuk manufaktur. Namun jika otoritas militer butuh, ia tak memungkiri akan menyokong dalam segi desain.
"Nanti kalau mau bikin militer ya PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI) saja, nanti kita kasih gambarnya, PT. DI suruh bikin. Tapi waktu riset ya jangan disebut-sebut militer bisa diboikot sana sini nanti," ujarnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto meminta penjelasan dari BRIN terkait penghentian proyek PUNA.
Ia mempertanyakan dengan langkah pengalihan proyek drone Elang Hitam dari awal untuk penggunaan militer jadi tujuan sipil.
Selain itu, ia juga mendesak, agar riset pertahanan dan keamanan (hankam) harus terus dikembangkan dan tidak boleh dihentikan.
Bambang Brodjonegoro saat menjabat Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi (Menristek/BRIN) mengatakan Presiden Jokowi setuju Drone Elang Hitam menjadi prioritas pengembangan inovasi nasional dalam lima tahun ke depan.
Bambang mengatakan Jokowi mengungkapkan hal tersebut dalam rapat terbatas antara dirinya dengan Jokowi. Drone Elang Hitam dan industri garam merupakan hasil pengkajian riset oleh Badang Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang kini sudah dilebur ke BRIN.
"Akhirnya dipilih oleh presiden untuk diprioritaskan lebih lanjut terutama untuk implementasi, Drone Elang Hitam dan Garam Industri Terintegrasi," ujar Bambang kepada awak media di Kantor BPPT, Jakarta pada 2020.
BPPT bersama konsorsium saat itu tengah melakukan pengembangan dan penguasaan teknologi agar mampu memproduksi drone di dalam negeri.
Pada 30 Desember 2019, pesawat udara nirawak (PUNA) tipe Medium Altitude Long Endurance (MALE) Elang hitam ditampilkan.
Selain BPPT, konsorsium yang memproduksi Elang Hitam beranggotakan Kementerian Pertahanan yaitu Ditjen Pothan dan Balitbang, TNI-AU (Dislitbangau), ITB (FTMD), BUMN yaitu PT Dirgantara Indonesia dan PT Len Industri.
(arh/can/arh)