Kuntilanak kemungkinan juga ada di beberapa negara di benua Amerika salah satunya Meksiko. Kok bisa?
Dosen antropologi Universtas Airlangga (Unair), Bayu Murti mengatakan, kuntilanak sebagai salah satu sosok hantu sebetulnya merupakan bagian dari budaya atau hasil pemikiran suatu masyarakat.
"Aku sepakat dengan Guru Besar UGM, Prof Heddy (Heddy Shri Ahimsa-Putra). Beliau sempat menjelaskan bagaimana lingkungan itu berpengaruh pada kebudayaan suatu masyarakat. Nah, kalau di Asia tenggara itu kan, lingkungannya kurang lebih sama kan ya? Tropis, gedange akeh (pohon pisangnya banyak), terus pohon tinggi-tinggi banyak," ujarnya seperti dikutip dari Detik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena kesamaan itulah, Bayu mengungkapkan masyarakat di Asia Tenggara memiliki pemikiran yang hampir sama terkait fenomena alam yang mereka hadapi. Salah satunya adalah cara menginterpretasi lingkungan di sekitar.
"Misalnya kesamaan pemahaman tentang Kuntilanak. Kedua, terkait dengan namanya. Mungkin bisa beda tapi mereka sama-sama paham ketika mereka sama-sama terhubung dan bertukar cerita mereka akan menyadari kesamaan. 'Oh, ternyata nang nggonku podo, ono sing koyok ngono iku (Oh, ternyata di tempatku sama, ada yang seperti itu). Jadi kesamaan yang muncul tadi itu diamini, tetapi namanya berbeda," kata Bayu.
Bayu menambahkan, produk budaya sebuah masyarakat merespon apa yang ditemui masyarakat tersebut di sekitar mereka. Hal itu termasuk dalam kepercayaan tentang roh yang cukup kuat di Asia Tenggara.
Menurut Bayu, hal itu juga terjadi karena faktor lingkungan. "Kebetulan terkait kepercayaan terhadap roh itu kuat banget ya. Karena memang lingkungannya membentuk seperti itu," katanya.
Bayu mencontohkan hantu yang ada di Meksiko bernama La Llorona, yang dinilai mirip kuntilanak. Hal itu, kata dia, bisa terjadi karena ada kemiripan lingkungan antara Meksiko dengan negara-negara di Asia Tenggara.
"Di Meksiko itu ada namanya La Llorona yang sebenarnya secara model sama dengan kuntilanak. Jadi digambarkan hantu itu perempuan, rambutnya panjang, suka cekikikan juga, dan yang disasar itu anak-anak kecil. Kenapa kok ada kesamaan? Bisa jadi terkait faktor lingkungan tadi. Kebetulan lingkungannya, kan, sama-sama tropis. Banyak pohon tinggi juga," ujarnya.
Karena faktor lingkungan itulah, kuntilanak tidak ditemukan di negara seperti Inggris. Pasalnya, lingkungan negara tersebut jelas berbeda.
"Ya kalau kita lihat fenomena alamnya nggak sekompleks di Indonesia walaupun di Inggris yo ada hutan, ya ada pohon tinggi, tapi mereka memaknainya sangat berbeda," ujarnya.
Terkait perbedaan nama, Bayu menuturkan faktor perbedaan bahasa berperan dalam hal tersebut. Di Indonesia, Kuntilanak juga disebut dengan Pontianak atau Puntianak.
"Jadi hantu ini antara Indonesia dengan Meksiko ada kesamaan pemodelan meskipun namanya berbeda. Perbedaan lainnya adalah pada detail cerita atau asal-usulnya. Tapi konsepnya sama kurang lebih sama," katanya.
Sebelumnya, pakar dari Bonn University, Timo Duile dalam studinya menyatakan, kuntilanak menggambarkan modernitas Melayu yang spesifik. Ia melakukan penelitian soal Kuntilanak pada mitos pendirian kota Pontianak, Kalimantan Barat.
"Meski berhadapan dengan hantu, narasinya secara eksplisit modern karena ia membentuk dan bergantung pada pemisahan antara budaya dan alam; beroperasi sebagai bentuk pencerahan, narasi mengubah alam menjadi objek perkembangan manusia," tulis Duile.
Ia mengungkapkan paling tidak ada tiga narasi populer soal kuntilanak. Pertama, narasi yang dikembangkan di kebudayaan populer seperti di film, yang sangat terpengaruh oleh konsep Barat tentang vampir.
Kedua adalah narasi soal kuntilanak yang ternyata umum ditemukan di masyarakat melayu seperti di Malaysia, Singapura, selatan Filipina dan Brunei Darussalam. Di Malaysia dan Singapura, kata Timo, kuntilanak dikenal dengan sebutan pontianak.
"Kuntilanak diketahui sebagai hantu wanita dengan karakteristik mirip vampir: tertarik dengan darah, yang digunakannya sebagai makanan, dan berbahaya bagi wanita yang sedang melahirkan," tulis Duile.
(lth)