Ramalan Hoogerbeets soal Gempa di Atas M 8 di Rusia Hingga RI Meleset
Ramalan gempa di Indonesia hingga Rusia dari pakar gadungan Frank Hoogerbeets terbukti meleset. Para pakar pun menegaskan ucapan pria asal Belanda itu tak punya dasar ilmiah.
Ia, yang sempat tenar usai meramal gempa besar di Turki dan Suriah, Februari, kembali membuat ramalan gempa berdasarkan pergerakan benda langit lewat kanal YouTube, Senin (27/2).
Hoogerbeets, dikutip dari kanal berita Rusia RT, memperingatkan bahwa "pekan pertama bulan Maret akan menjadi sangat kritis."
"Konvergensi geometri planet kritis sekitar 2 dan 5 Maret dapat mengakibatkan aktivitas seismik besar hingga sangat besar, bahkan mungkin gempa besar sekitar 3 dan 4 Maret dan/atau 6 dan 7 Maret," demikian deskripsi pada klip tersebut.
Dalam video itu, dia mengklaim kekuatan gempa "mungkin lebih dari 8 skala richter".
Daerah yang terkena dampak, kata dia, dapat membentang hingga ribuan kilometer, mulai dari Semenanjung Kamchatka (Rusia) dan Kepulauan Kuril di Timur Jauh Rusia, hingga ke Filipina dan Indonesia.
"Sulawesi, Halmahera. Mungkin Laut Banda, Indonesia," kata dia.
"Saya tidak melebih-lebihkan. Saya tidak mencoba menciptakan rasa takut. Ini peringatan," klaim pria yang bekerja di Solar System Geometry Survey (SSGEOS) itu.
Berdasarkan pantauan pada periode itu, nihil gempa dengan kekuatan di atas M 8 atau gempa signifikan lainnya.
Yang ada hanya beberapa lindu sekitar M 5. Misalnya, gempa Magnitudo 5,6 di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Kamis (2/3) pukul 06.05 WIB.
Gempa M 4,5 mengguncang Jember, Jawa Timur, Jumat (3/3) pukul 21.49 WIB; lindu dengan kekuatan M 4,1 di Labuan Bajo, NTT, Selasa (7/3) pukul 02:04 WIB.
Terbaru, gempa M 6 mengguncang Filipina, Selasa (7/3) pukul 02.00 waktu setempat di Provinsi Davao de Oro.
Kepala Survei Geofisika Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia Cabang Kamchatka, Danila Chebrov, mempertanyakan prediksi Hoogerbeets dan menggambarkannya sebagai "amatiran".
Menurut dia, hubungan antara pergerakan planet di tata surya dan aktivitas seismik di Bumi "agak lemah, dan menggunakannya sebagai alat prognostik utama bermasalah".
Senada, Koordinator Bidang Observasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar Jamroni menyatakan metode ramalan pria Belanda tersebut masih perlu pengkajian mendalam.
"Kami tidak terima dengan gempa dengan prediksi seperti itu dan seandainya terjadi hari ini atau besok adalah bagaimana bisa kita selamat saat ada gempa," ujarnya, dikutip dari Antara.
Jamroni juga mempertanyakan luas area yang terdampak gempa, mulai dari Kamchatka, yang ada di perbatasan Rusia dan Jepang, kemudian Filipina dan Sulawesi, Halmahera, hingga Laut Banda, di Indonesia.
"Itu jarak yang panjang, jauh sekali dari Kamatcha hingga ke sampai ke Pulau Sulawesi di Indonesia. Panjangnya itu sekitar 7.000 kilometer dan kalau melalui perjalanan pesawat itu butuh waktu 18 jam. Bagi kami itu sangat jauh," cetusnya.
Terlepas dari itu, Jamroni menyebut pentingnya memakai bangunan tahan gempa. Contohnya, gempa magnitudo 6,2 di Mamuju, Sulawesi Barat, 2020. Saat itu, kata dia, banyak bangunan atau gedung rusak, namun tidak dengan bangunan kantor BMKG Mamuju.
"Gedung di Kantor Gubernur Sulbar runtuh pada bagian atap, tapi gedung BMKG yang posisinya berjarak kurang lebih 300 meter itu aman dan tidak ada keretakan sedikit pun, karena memang di bangun dan dirancang sesuai dengan kriteria bangunan tahan gempa," tuturnya.
Pada 3 Februari, Hoogerbeets berkicau, "Cepat atau lambat akan ada gempa berkekuatan 7,5 SR di wilayah ini (Turki Selatan-Tengah, Yordania, Suriah, Lebanon)."
Tiga hari kemudian, gempa berkekuatan 7,8 melanda Türki dan Suriah. Bencana tersebut mengakibatkan korban jiwa lebih dari 50 ribu orang.
(tim/arh)