Kekeringan Prancis, Bukti Nyata Krisis Air yang Mengancam Eropa

CNN Indonesia
Rabu, 08 Mar 2023 15:01 WIB
Mayoritas negara-negara di Eropa tengah berada dalam ancaman krisis air. Kekeringan di Prancis menjadi salah satu buktinya.
Sungai Loire Mengering, Perubahan Iklim Prancis di Luar Kendali (REUTERS/STEPHANE MAHE)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kekeringan dan krisis air mengancam sejumlah negara di Eropa. Bukti-bukti nyata terkait hal tersebut paling tidak sudah terlihat di Prancis.

Danau Lac de Montbel yang terletak di Barat Daya Prancis 80 persen sudah mengering. Akibatnya, perahu-perahu dan beberapa kapal layar terbengkalai di sisi danau itu karena tak bisa berlayar.

Pemerintah Prancis pun meminta warganya untuk berhemat menggunakan air. Menteri Lingkungan Prancis, Christophe Bechu megungkapkan, 100 prefektur sudah dapat mulai menerapkan aturan terkait hal itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lihat Juga :

"Kami menyalakan alarm mengingat situasi yang kita alami saat ini, saat kami mendekati akhir dari apa yang biasanya merupakan periode pengisian ulang terhadap muka air tanah," kata Bechu seperti dikutip Reuters, Selasa (7/3).

Beberapa departemen yang telah menerapkan peringatan kekeringan antara lain Pyrenees Orientales, Bouches-du-Rhone, Var, dan Ain. Di saat yang sama, departemen Yvelines dan Savoie juga telah menerapkan kewaspadaan pra-siaga tingkat rendah.

Prancis pun kini hanya bisa berharap terhadap hujan yang diprediksi turun mulai saat ini hingga 15 Maret.

"Kami menggantungkan harapan pada hari-hari yang akan datang, ketika hujan diprediksi terjadi di sebagian besar Prancis, namun tidak di semua wilayah. Kami juga punya perhatian serius terhadap cekungan Mediterania dan koridor Rhone," kata Bechu.

Dikutip dari The Guardian, kebanyakan wilayah Eropa saat ini mengalami musim dingin kering. Hal itu terjadi setelah Eropa juga mengalami musim panas paling kering dalam 500 tahun terakhir.

Dua peristiwa tersebut dipicu oleh perubahan iklim yang kemudian menimbulkan kekhawatiran sejumlah negara terhadap ketersediaan air untuk rumah-rumah, pertanian, dan industri di Benua Biru.

Dalam sebuah studi yang dipublikasikan pada Januari oleh Graz University of Technology di Austria, Eropa mengalami kekeringan sejak 2018. Alhasil, situasi terkait ketersediaan air saat ini pun terbilang "sangat genting".

"Saya tidak pernah membayangkan air akan menjadi masalah di Eropa, terutama di Jerman atau Austria. Kami benar-benar mendapatkan masalah soal ketersediaan air di sini. Kita benar-benar harus memikirkan hal ini," kata salah satu periset, Torset Mayer-Gurr.

Dampak di negara Eropa lain

Ucapan Gurr tidak mengada-ada. Di Jerman, kedalaman Sungai Rhine menyusut sehingga menyebabkan terganggunya arus lalu lintas air. Akibatnya, perahu dan kapal-kapal harus beralih ke Eropa tengah untuk mengangkut muatan setengah dari kapasitasnya.

Lebih lanjut, kota Landeck dan Reutte di Austria juga mencatatkan musim dingin paling kering. Di saat yang sama, beberapa wilayah di Swiss juga meminta warganya melanjutkan untuk berhemat air usai melakukan hal yang sama pada musim panas lalu.

Di Italia, pemerintah negara tersebut sedang bersiap membuat satuan tugas termasuk "komisioner super" dan beberapa pejabat kementerian.

Satuan tugas itu nantinya harus mencari solusi terhadap masalah kekeringan yang telah berdampak ke sektor agrikultur Italia.

Dewan Riset Nasional Italia (CNR) pada bulan lalu mencatat, tingkat curah hujan di wilayah utara 40 persen lebih rendah daripada rata-rata 2022. Level permukaan air di sungai terpanjang, Po pun menyusut 61 persen pada Februari lalu.

Pakar meteorologi Italia, Luca Mercalli mengatakan, Italia hanya akan terhindar dari kekeringan ekstrem seperti saat musim panas lalu, jika hujan turun deras pada musim semi. "Itu harapan terakhir. Jika tidak ada hujan itu selama dua tahun berturut-turut, hal tersebut menjadi yang pertama kali terjadi," katanya.

Emisi sisa makanan

Kekeringan ekstrem yang melanda Eropa disinyalir merupakan dampak buruknya pengelolaan sampah makanan. Dikutip dari France 24, sistem makanan global berkontribusi terhadap 15 persen level pemanasan saat ini.

Sayangnya, hanya ada 1/3 dari rencana pengurangan emisi nasional, yang berada di bawah perjanjian Paris, memasukkan langkah pemotongan polusi karbon dari sektor agrikultur atau peternakan.

Sebuah studi yang dibuat Catherine Ivanovich dari Columbia University mengungkap, dibanding karbon dioksida, gas metana memiliki kecenderungan untuk menahan panas Matahari di atmosfer.

Mereka menemukan metana dari peternakan, sawah, dan makanan busuk menyumbang sekitar 60 persen emisi yang berkaitan dengan makanan. Di saat yang sama, karbon dioksida dari mesin, transportasi beserta nitrous oksida dari penggunaan pupuk kimia berlebih menyumbang 20 persen gas emisi.

Para pakar juga mengumpulkan data emisi karbon yang berasal dari hampir 100 makanan individu.

Tanpa perubahan signifikan dalam soal produksi makanan dan diet, konsumsi makanan global akan meningkatkan suhu permukaan Bumi mencapai 0,7 dan 09 derajat celsius di akhir abad ini.

"Penambahan pemanasan ini saja dapat melampaui batas 1,5 derajat celsius dan mendekati batas 2 derajat celsius," tulisnya.

Angka 1,5 derajat celsius merupakan batas peningkatan temperatur global, yang ditetapkan dalam Paris Agreement terkait perubahan iklim. Di dalam Paris Agreement, disepakati pula bahwa peningkatan temperatur global harus berada di bawah 2 derajat celsius di atas level pra-industrial.

[Gambas:Video CNN]

(lth)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER